Kontributor: Diketik
oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2009)
(Pidato dalam Kongres
Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946)
***
Lebih dahulu saya minta
pada saudara sekalian sekejap berdiri, memperingati arwahnya rakyat dan
pahlawan Indonesia, yang sudah meninggalkan kita dalam perjuangan yang maha
dahsyat ini, dan memberikan warisan kepada kita supaya meneruskan pekerjaanya.
Pokok pembicaraan
sekarang ialah: situasi politik luar dan dalam Indonesia. Saudara sekalian!
Jikalau kita mau menanam
satu pohon, maka lebih dahulu kita cari bibit yang bagus, tanah yang cocok dan
hawa yang sesuai. Bibit yang sebaik-baiknya pun kalau tidak disertai oleh tanah
yang cocok dan iklim yang sesuai, tidak akan tumbuh menjadi pohon.
Demikian juga haluan
kita!
Kalau haluan itu tidak
cocok dengan keadaan di dalam dan di luar maka ia akan patah di tengah jalan
atau gagal sama sekali. Haluan kita serta cara kita bekerja, mesti kita ukur
dengan kekuatan kita, baik dari dalam ataupun dari luar. Kemudian keadaan luar
dan dalam itu kita cocokkan dengan haluan kita; yaitu: kemerdekaan. Demikianlah
kita membentuk persatuan yang kita butuhkan dan organisasi yang cocok dengan
keadaan di dalam dan di luar negeri. Apabila organisasi kita, persatuan kita
dan haluan kita sudah cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri kita,
maka barulah kita berharap, bahwa kelak usaha kita akan berhasil.
Dengan iman yang teguh
tegap hati yang tetap tenang kita boleh melaksanakan haluan kita tadi. Tidak
ada manusia yang adil akan menyesali paham dan perbuatan kita. Tak ada pula
sesuatu kodrat yang akan merintangi kelangsungannya usaha kita. Anak cucu kita
kelak akan mewarisi apa yang akan kita tinggalkan itu, sempurna atau sebagian
jaya, dengan iman yang lebih walaupun kita sudah insyat akan segala-gala
meskipun sudah bersatu padu atas satu organisasi yang berdisiplin laksana baja,
tetapi baru sampai di tengah jalan kita sudah patah hati dan pecah belah, maka
akan sia-sialah semua pekerjaan kita selama itu tadi. Anak cucu kita akan
mengutuki kita sebagai penghianat paham dan negara kita sendiri atau sedikitnya
akan menjauhi kita sebagai manusia yang lemah tak berwatak.
Semuanya ini adalah
keyakinan saya sendiri. Saya pikir keyakinan ini boleh dibuktikan dengan
sejarah negara manapun juga dalam waktu manapun juga.
Kembali saya sekarang
kepada pokok perkara ialah menguraikan situasi politik luar dan dalam negara.
Saya mulai dengan suasana politik luar negara. Bukankah negara kita ini bagian
dari dunia luar? Bukankah pula dunia luar itu lebih besar dari negara kita?
Bukankah akhirnya politik dunia itu bisa sama sekali menghambat atau
menghalang-halangi politik negara kita sendiri?
Hari depan kita adalah
bergantung kepada keadaan sekarang. Seterusnya pula, keadaan sekarang berseluk
beluk dengan keadaan lampau.
Marilah kita tinjau!
Marilah kita sedikit surut ke belakang sejarah! Ke tahun 1918, ialah perjanjian
Versailes.
Pada waktu itu dunia sedang
gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala timbul, ialah Soviet
Rusia. Pada zaman itu saya masih muda, masih berlajar di Eropa barat. Dalam
usia “Sturm und Drangperiode” itu, dalam usia sedang bergelora itu saya di
londong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia Barat sendiri pada masa
itu seakan-akan mengikuti Soviet Rusia.
Dari dunia Eropa Timur
itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya rasa perlu buat
perjuangan politik, ekonomi, dan sosial kita.
Walaupun pasang revolusi
yang dari Timur mengalir ke Barat Eropa itu lambat laun susut kembali sampai ke
Negara Rusia saja, tetapi tiadalah padam-padamnya ilham dan petunjuk yang saya
peroleh dari Rusia dimana usia bergelora tadi.
Berdasarkan petunjuk
yang saya peroleh dari Soviet Rusia itulah saya sekarang melangkahi sejarah
dengan kecepatan raksasa. Dari tahun 1918-1923, lebih kurang dalam 5 tahun itu,
keadaan politik-ekonomi dan sosial dunia kapitalisme seakan-akan tak bisa
diperbaiki lagi.
Seakan-akan kapitalisme
dunia itu mau roboh.
Tetapi dari tahun
1924-1929, kurang lebih dalam 5 tahun pula, dunia kapitalis mulai bangun
kembali. Mulanya perlahan-lahan. Kemudian cepat demi cepat sampai produksi itu
bisa di puncak. Tiba-tiba timbullah krisis, lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Dahulu kita musimnya
krisis itu dianggap sekali 10 tahun. Tetapi rupanya karena kodrat mesin
menghasilkan sudah berlipat ganda maka musim itu kembali sekali 5 tahun saja.
Sebabnya timbul krisis
itu boleh saya ringkaskan:
Dalam dunia kapitalistis
cuma beberapa biji manusia yang memiliki harta pencaharian, yang berupa tanah,
pabrik dan tambang serta mengurus hasil buat masyarakat seluruhnya. “Makin
banyak saya menghasilkan” demikianlah pikirannya si Kapitalis, “makin murah”
jualan barang saya. Ini berarti makin lekas dapat saya gulingkan saingan saya,
yang tak bisa menjual barangnya semurah barang saya. Tetapi kapitalis lain
ialah teman seperjuangannya berpendapat sedemikian pula. Begitulah tiba-tiba
saja barang membanjiri pasar, melimpah di pasar dan jatuh harganya sampai jatuh
di bawah ongkos. Karena jualan tiada lagi menutupi ongkos, maka tuan pabrik
seorang demi seorang terpaksa menutup pabriknya. Dengan begitu kaum pekerja
terpaksa disuruh pulang. Pengangguran bersimarajalela dan krisis mengamuk kiri
kanan.
Demikianlah ringkasnya
gambaran dunia pada tahun 1929. Negara kapitalis mulai goncang lagi sampai ke
tiang dan dasarnya.
Negara Amerika pun yang
luas serta kaya-raya dalam hal bahan pabrik, tambang, mesin dan tenaga pun
tiadalah luput dari genggamannya krisis yang mulai timbul pada tahun 1929 itu.
Meskipun Amerika menghasilkan lebih kurang 70 % barang penting dari industri
berat, seperti besi, baja, mesin minyak dan lain-lain walaupun pembeli dalam
negaranya banyak dan kaya-raya, walaupun lebih dari 90 % jumlah mas di dunia
tertumpuk di country of the free “Negara Mereka” itu, namun tahun krisis itu
tak terbendung juga.
11 juta pekerja
menganggur di Amerika bukan karena malas atau bodohnya sendiri. Melainkan
karena salahnya sistem kapitalisme. Seandainya tiap-tiap pekerja cuma
menanggung seorang istri dan seorang anak saja, maka di antara 140 juta warga
Amerika itu adalah 33 juta yang melarat atau lebih kurang ¼ penduduk yang jatuh
ke lembah kesengsaraan. Sewaktu-waktu mereka terancam oleh kelaparan dan
senantiasa mereka dihitung sebagai golongan pengemis.
Bagaimana pula kedudukan
negara Inggris?
Luasnya negara Inggris
ini adalah kurang dari 100.000 mil persegi. Tetapi di Asia dan Afrika Inggris
mempunyai jajahan yang luasnya lebih kurang 12.000.000 mil persegi, jadi
kira-kira 150 kali seluas negaranya sendiri. Inggris berpenduduk kurang dari 50
juta, tetapi penduduk jajahannya adalah lebih kurang 500.000.000 atau lebih
kurang 10 kali sebesar cacah jiwa negaranya sendiri.
Ditilik dari penjuru ini
maka tiap-tiap 1 orang Inggris dilayani oleh 10 orang kulit berwarna. Tetapi
dalam negara Inggris sendiri mereka yang memiliki perkakas menghasilkan dan
mengurus produksi itu, bertitel Lord ataupun tidak, kalau kita katakan ada 1000
jumlahnya, masih melebihi taksiran. Sehingga tak jauh dari kebenaran kalu kita
katakan kalau dibelakangnya seorang kapitalis Inggris berada dan bekerja ½ juta
kuli hitam dan putih. Begitulah juga di Inggris di antara tahun 1929 dan 1932
krisis mengamuk dengan hebatnya. Tak berapa bedanya angka kurban krisis di
Inggris itu dari pada 2 juta orang. Tanah luasnya hampir 1/6 maka bumi buat
penduduk belum 1/44 jumlah penduduk dunia, yakni kalau buruh Inggris dihitung
sebagai bangsa tuan, tiadalah bisa meluputkan Inggris dari marabahaya krisis.
Tahun 1929-1932! Dimasa
tiga tahun itu sekalian ahli politik – ekonomi – sosial di seluruh dunia
memutar-mutar otaknya untuk mendapatkan sistem ekonomi yang kiranya bisa
menghindarkan krisis. Pada waktu ini di seluruh dunia hanyalah satu negara yang
terhindar dari krisis ialah negaranya proletar, Soviet Rusia. Disana kaum
pekerja memiliki mata pencaharian hidup dan mengatur hasil buat keperluan
bersama, bukanlah buat diperjual-belikan. Banyaknya hasil tiadalah
diombang-ambingkan oleh pedoman laba-rugi, melainkan ditetapkan oleh kebutuhan
pasti.
Pabrik tidak ditutup
karena untung kurang. Sebaliknya pabrik senantiasa kekurangan tangan karena
selalu saja meluas dan mendalam disebabkan pula oleh kenaikan takaran-hidup
(standard of life) setahun demi setahun.
Dengan mulut dunia
kapitalisme mencela politik dan sistemnya Soviet. Tetapi dalam kalbunya mereka
cemburu akan keamanan dan kemajuan Rusia.
Mereka sama tertarik
oleh rencana ekonomi. Baik negara fasis ataupun demokrasi mencoba mengadakan
rencana dan menjalankan rencana ekonomi. Mereka gagal lantaran pertentangan
hebat di antara satu negara kapitalis dengan negara kapitalis lainnya.
Marilah sekarang kita
tinjau keadaan di negeri Jerman! Kita kenal orang Jerman pukul rata, orang yang
pintar, berani, kuat dan rajin. Tetapi dia kalah perang 1914 – 1918! Kalau satu
negara kalah perang maka ia mesti tunduk pada undang-undang perang. Jerman
diharuskan membayar hutang kepada yang menang ialah Inggris, Perancis dan
Amerika. Panjangnya angka hutang itu barangkali dari Purwokerto ini sampai ke
Bogor.
Tanya Jerman: “Dengan
apa akan saya bayar hutang itu?” Kita tahu bahwa kereta-api dan kapal Jerman di
sita oleh musuhnya. Uang kertas Jerman amatlah merosot harganya. Musuhnya tentu
tak mau menerima kertas Jerman yang tak berharga di luar negaranya itu.
Apakah boleh Jerman
membayar hutangnya dengan barang?
Inipun tiada mungkin
dilakukan dengan tidak banyak menderita bermacam halangan. Besi buat bahan tak
cukup di Jerman. Minyak tanah cuma bisa disaring dari arang saja. Timah, kapas,
getah, dan lain-lain tak ada pula. Semuanya ini di pasarnya “si Haves” ada
bertimbun-timbun. Tetapi bahan ini tidak bsia dibeli dengan uang kertas Jerman.
Jerman bisa beli dengan jual barang pabriknya tetapi barang pabrik ini
membutuhkan bahan pula. Demikianlah persoalan berputar-putar saja dari ujung ke
pangkal. Si Haves sebenarnya tak sudi memberi kelonggaran kepada Jerman yang
mencari barang bahan di jajahannya itu. Mereka takut akan barang Jerman. Takut
akan persaingan barang Jerman yang murah dan baik itu. Bukankah kacau dunia
semacam itu? Jerman disuruh membayar hutang. Dengan uang tidak bisa dibayar dan
dengan barangpun tidak. Sedangkan yang berpiutang terus menagihnya.
Inilah yang membikin
dunia kacau sesudahnya perang dunia ke I. Pokok kekacauan itu terdapat dalam
Perjanjian Versailles. Dalam Perjanjian inilah seluruhnya Rakyat Jerman yang
dengan Austria 80 juta itu diharuskan membayar hutang perang, pengganggu
keamanan dunia dan oleh sebab itu diharuskan membayar hutang, dilucuti
senjatanya dan ditindas gerak politiknya. Tiadalah kita mau dan bisa
mendalamkan persoalan salah atau benarnya Jerman terhadap perang dunia ke I
itu.
Cuma kita mau kemukakan,
bahwa keadaan di Jerman itu memberi kesempatan kepada seorang pemimpin
ber-kaliber Hitler dan satu partai bercorak Nazi. Nama Hitler mulai didengar
semenjak tahun 1922, ketika krisis Jerman sedang memuncak. Bagaimana Hitler
mengadakan organisasi dan merebut kekuasaan bulat tiadalah perlu kita uraikan
disini. Cuma kita tahu bahwa Hitler dan partainya cukup mendapat kekuatan buat
membentuk Jerman-Nazi yang akan melakukan politik kontra-revolusioner terhadap
ke dalam Jerman dan politik imperialisme terhadap ke luar. Yang akan kita
kemukakan disini ialah kekuasaan penuh dan kepercayaan penuh dari pada rakyat
buat suatu pemerintah.
Kalau satu negara belum
mempunyai kekuasaan penuh dan kepercayaan penuh dari pihak rakyat, maka
pemerintah itu akan mudah saja diobrak-abrik dari luar ataupun dari dalam. Kita
tidak memuji aturan fasisme Jerman itu. Kita hanya memajukan satu bukti betapa
hebatnya kekuatan rakyat itu di bawah pimpinan yang mendapat kepercayaan penuh
serta kekuasaan penuh dari rakyatnya. Marilah sebentar kita arahkan uraian kita
terhadap ekonomi Jerman di bawah pimpinan partai Nazi. Yang menjadi alternatif
(pilihan) dalam ekonomi Jerman di masa itu, ialah: kalau gaji buruh naik maka
harga barang, hasil pabrik tidak bisa bersaingan di pasar luar negeri; kalau
gaji buruh diturunkan maka jumlah gaji buruh yang sudah turun itu tak bisa
menghabiskan hasil pabrik dalam negara. Padahal Jerman harus menjual barang ke
luar negara untuk dapat membeli bahan mentah. Sedangkan dalam perdagangan
bahan-bahan mentah ini Inggris yang berkuasa, tapi ia yang enggan menolong
Jerman. Itulah artinya berkoloni, itulah pula enaknya orang mempunyai jajahan!
Tetapi tidak enak bagi yang lain.
Maka sebab itu dunia
terus cekcok saja!
Sekarang kalau gaji yang
diturunkan, maka pasar dalam negeri yang menjadi kurus. Sebab, dalam negeri
kapitalis tulen seperti Jerman adalah lebih kurang ¾ dari pada jumlah kaum
buruh yang hidup dari gajinya.
Maka bagaimana mereka
itu bisa membeli, kalau gajinya semakin diturunkan? Jadi: kemari salah, kesana
salah!
Orang Jerman mencoba
memutar-mutar roda ekonomi dan memutar-mutar otaknya. Tetapi terpaksa juga
kembali kepada pokok – pangkalnya soal: haves dan haves-not. Yang dipikirkan
Jerman cuma: Kita mesti punya koloni! Mendapatkan koloni dengan politik curang,
dengan merebut, dengan mendesak, kita orang Indonesia tidak setuju. Dengan
Jerman tak setuju, dengan Inggris dengan seiya apapun tidak! Tetapi menurut
hemat kita yang membawa Jerman ke arah politik-perang itu tak lain dan tak
bukan karena dunia mesti terbagi atas “haves” dan “haves-nots” itulah! Lantaran
masih ada negara yang satu dua biji warganya mesti di layani oleh ½ juta budak
putih dan hitam.
Alat peranglah dibikin
Jerman. Kita masih ingat kapal Jerman yang hebat. Tank raksasa, kapal selam,
meriam! Semua itu Jerman bikin, bikin!
Kaum buruh bekerja lagi.
Mereka jalan terus, sampai tahun 1939. dalam 7 tahun Jerman hidup kembali.
Kembali seperti sediakala malah lebih hebat. Mau apa sekarang dengan kapal
selam dan alat perang lain-lainnya itu? Jawab: perang! Senjata ada, kemauan
ada. Jangan sekarang orang menyalahkan bangsa ini, bangsa itu; keadaan ekonomi,
itulah yang menjadi pangkal segala-galanya itu.
Semua itu dimulai dari
tahun 1932. Dalam tahun itu Jerman mulai menjadi fasis. Ia menghendaki
produksi, ia membutuhkan besi, minyak, ia berkehendak menghasilkan kain, oto,
mesin; mesin yang dapat menghasilkan mesin ….. Tetapi, jika tidak ada pasarnya,
bagi hasil produksi itu, tak ada gunanya. Semua hal inilah yang membawa kita ke
pintu gerbangnya perang dunia ke II.
Hitler ada mempunyai
sahabat karib di Selatan. Namanya Mussolini dan nama negaranya Italia.
Dalam beberapa hal
Mussolini lebih pintar dari pada Hitler. Malah dia gurunya Hitler. Tetapi
Italia jauh lebih miskin dari pada Jerman. Italia tak mempunyai bahan seperti
arang, besi, minyak tanah, timah, kapas, karet dan lain-lain. Sistem ekonomi
hampir seperti Jerman juga.
Hasil pabriknya sudah
mempunyai melimpah. Tetapi pasar tak ada buat membeli bahan dan menjual barang
pabrik. Dia incerkan matanya dan tujukan meriamnya ke Abessinia. Dia tahu
adanya Volken bond. Tetapi dia tahu Volkenbond itu tak berkuasa. Mussolini
tidak memperdulikan Volkendbond itu!
Sekarang ada juga badan
yang mirib dengan Volkenbond itu, yaitu United Nations. Orang belum tahu lagi
bagaimana kelak badan itu.
Uraian di atas ini bukan
agitasi, hendaklah orang membaca dengan tenang uraian ini. Uraian mengenai
soal: Apa obat krisis itu? Apa obat krisis Jerman? Apakah kelak United Nations,
ialah penjelmaan Alamarhum Volkenbond itu kelak bisa menyelesaikan krisis dunia
sekarang?
Yang ikut salah dalam
semuanya itu ialah: the biggest of all, negara yang terbesar dari dalam segala
itu, Amerika. Negara itu juga disebut orang: country of the free, negara
merdeka! Kalau 11 juta pekerja dikeluarkan dari pabrik (karena krisis):
merdeka! Kalau berkeliaran di jalan raya dan pasar perburuhan itu artinya:
merdeka!
Kalau ada warga negara
yang di –“Lynch” (disiksa): merdeka! Memang country of freedom, negara merdeka,
dengan 11 juta kaum buruh yang menganggur tetap, merdeka mondar-mandir kesna
sini menawarkan tenaganya kepada mereka yang merdeka pula menetukan apa akan
dibeli apa tidak. Sedang dalam negeri itu gandum yang ditanam, dipotong,
diangkut, diirik dengan tractor bertimbun-timbun banyaknya, tetapi
bertimbun-timbun pula yang lapar, yang tak berbaju, berkeliaran mencari kerja
dan syarat hidup.
Jadi bagaimana sekarang
dikumpulkan orang-orang yang cerdik pandai, profesor-profesor. Mereka
mengadakan “braintrust”, kumpulan otak dari pada orang yang pandai-pandai.
Memang Roosevelt adalah orang besar dalam dunia demokrasi. Ia menyerukan New
Deal, perubahan baru. Sebelumnya Roosevelt tampil ke muka maka kalau petani
kebanyakan gandum semboyannya: bakar! Atau buang dalam laut! kain telah banyak:
bakar saja! Mendapatkan barang baru, pun menjadi barang melimpah, tak berguna.
Pendapatan yang baru itu dapat menggunakan kaum buruh yang lebih sedikit
jumlahnya. Lantaran itu maka terpaksalah pula kaum buruh disusutkan. Jadi
pendapatan baru itu tidak dijalankan, karena keadaan akan bertambah jelek. Akan
lebih banyak lagi yang masuk partai seperti komunis, dan sebagainya; akan
bertambah yang melawan undang-undang negeri! Itu durhaka! Jadi supaya jiwa
orang jangan sesat, supaya lebih banyak yang masuk gereja, supaya banyak yang
pergi ke tempat moralis, maka pendapatan tidak dijalankan. Rencana pendapatan
baru itu dibeli oleh kapitalis yang tak suka memakainya buat dipendam atau
dibakar. Begitulah nasibnya negara kapitalis yang terbesar. Satu peristiwa yang
mengandung kemajuan itu dianggap sebagai musuh.
Tetapi adalah orang yang
bisa mendapat cara untuk memakai hasil dengan tidak susah membuang, membakar
dan sebagainya?
Roosevelt pikir dia
bisa. Bank sekarang banyak yang bangkrut tak sanggup membayar hutangnya
lantaran krisis. Pinjami atau kasih uang banyak kata Roosevelt. Kasih kredit
banyak-banyak kepada kaum tani membayar hutang juga. Akibatnya: gandum ada
lagi. Kasih kredit kepada yang punya pabrik yang sudah bankrut dan ditutup.
Pabrik jalan lagi, hasil bertambah-tambah. Tetapi: ada yang penting lagi,
bagaimana menjualnya? Orang 11 juta yang menganggur tak beruang buat membeli
keperluannya. Karena itupun dikasih kredit juga. Bangunan “umum” disuruh bikin
banyak-banyak. Ratusan ribu kaum buruh mendapat pekerjaan. Akbatnya: roda
ekonomi mulai berputar perlahan-lahan. Pabrik-pabrik yang baru disuruh buka.
Jalan-jalan raya baru disuruh bikin, pabrik terbuka, buruh bekerja, mendapat
gaji dan bisa membeli barang. Hasil pabrik yang dikirim ke pasar mendapatkan
cukup pembeli. Pabrik dan pasar bergandengan kembali.
Tetapi ada pabrik yang
dibantu oleh pemerintah Roosevelt menjadi saingannya pabrik kapitalis
perseorangan. Kapitalis ini atau itu menuduh Roosevelt menjalankan politik
sosialistis. Buat menghindarkan persaingan dengan kapitalis perseorangan,
Roosevelt terpaksa lari dari lapangan bangunan umum saja.
Seperti jalan raya,
kebun, kanal, tanah lapang dan sebagainya. Tetapi akhirnya sampai juga kepada
jalan buntu.
Benar jalan-jalan raya
dapat disuruh bikin sampai ke Utara Amerika. Tetapi pabrik dan perekonomian seluruhnya
goyang lagi. Hasil mulai baik dan terus melimpah pula. Dimana sekarang
Roosevelt mendapat teman! Ini lucu: orang yang selama ini dianggap demokrat
sebenarnya mendapat teman seorang fasis ialah Hitler, Begini: si fasis sadar
ada alat perang dan mulai menyerang Polandia, Denmark ………. Sampai Inggris.
Inggris tentu tidak dapat membikin alat-alat perang sendiri sebanyak-banyaknya
karena diserang Jerman. Jadi pabrik senjata Amerika dibuka lagi. Industri
perang jalan lagi. Betul dalam hakekatnya fasisme cerobohlah yang meneruskan
berputarnya ekonomi Amerika. Pada fasisme Jermanlah sebenarnya kaum kapitalis
Amerika berterima kasih karena lantaran perang anti-fasislah roda ekonomi
Amerika bisa jalan. Tetapi sesuatu kebenaran itu tak selalu bisa diakui berterang-terangan.
Begitulah keadaan
Amerika. Negara yang “the biggest of all” itu sampai pecahan perang dunia ke
II.
Bagaimanakah sejarahnya
satu Badan Internasional, ialah Volkenbond yang maksudnya bermula ialah
menyelesaikan perselisihan antara negara dan negara di dunia dan dengan begitu
menghindarkan peperangan? Sekejap akan kita tinjau! Kita ingin tahu bisa atau
tidakkah badan ini mengobati krisis dunia. Nama Volkenbond tak bisa dipisahkan
dengan nama Wilson, Presiden Amerika di masa Perang dunia ke I.
Nama Wilson itu tak pula
boleh dipisahkan dengan semboyan “self-determination”. Semboyan ini mengakui
hak sesuatu bangsa memilih pemerintahannya sendiri Wilson juga diakui sebagai
bapaknya Volkenbond itu sesuatu perselisihan mesti diserahkan kepada satu majelis
buat menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang salah akan dihukum
(sanction) dengan pemboikotan. Belum sampai orang ke tingkat mengadakan politik
dunia buat menjalankan hukuman terhadap Negara oleh Hakim Volkenbond dianggap
salah itu. Tetapi memangnya sudah satu kemajuan Internasional apabila Negara
salah ceroboh itu benar-benar diboikot perdagangannya.
Tetapi apa yang
sebenarnya terjadi? Presiden Wilson itu, yang di Eropa di puji-puji orang,
disambut orang dengan seruan “Hosanna-Hosanna” (Bahagialah!) seperti terhadap
Yesus Kristus, sekembalinya di Amerika oleh senate, Amerika tidak dizinkan
masuk Volkenbond. Negeri yang kuat, yang rajin, yang 5 juta mil persegi luasnya
“The Biggest of All” tidak dibolehkan oleh Parlemen Amerika memasuki
Volkenbond. Jadi yang masuk siapa? Inggris, Perancis, Spanyol dan negeri-negeri
kecil, plonco-plonco: Rumania, Belanda, Swedia, Norwegia. Inilah yang kita
maksudkan di atas tadi, kalau kita katakan, bahwa Amerika ikut salah. Amerika
memancarkan diri dari kekalutan dunia disebabkan Perjanjian Versailles. Amerika
tak mau tanggung jawab. Dia yang melakukan Volkenbond, tetapi sesudah anaknya
itu lahir, anak itu dilemparkannya. Anak itu dirobek-robek oleh macan
imperialisme Barat.
Bagaimanakah kedudukan
yang sebenarnya Negara kecil-kecil di Eropa itu? Negara-negara kecil itu harus
dibantu oleh Negara Besar. Mereka itu tak dapat berekonomi sendiri. Dalam
politik katanya Belanda itu “vrij” (merdeka), tetapi dalam ekonomi mesti
bergantung kepada Inggris. Begitu juga Portugis, Denmark dan lain-lain. Jadi:
ke dalam Eropa, Inggris membuat plonco dari negeri-negeri kecil. Terhadap ke
luar Eropa terhadap Asia dan Afrika, Inggris mengadakan jajahan dan
daerah-daerah yang di bawah pengaruhnya! Dari jajahan itu dapat diambilnya
macam-macam bahan mentah sebanyak-banyaknya seperti: besi, minyak, timah,
kapas, getah juga barang-barang makanan. Di koloni itu sendiri diadakan
macam-macam kebun, seperti kebun kopi, kebun gula. Barang bahan diangkut ke
Eropa. Dengan bahan itu di Eropa dibuat mesin, dan mesin yang menghasilkan
berjenis-jenis mesin pula. Sedangkan koloni itu cuma buat menghasilkan barang
makanan, barang bahan dan jadi pasaran hasil pabriknya saja.
Demikianlah sekarang
terhadap dua macam pool: pada satu pool terdapat kemewahan, bermacam-macam ahli
dalam segala lapangan pengetahuan; sedangkan pada pool lainnya terdapat
kemiskinan, kebodohan. Maka bangunlah sekarang seorang poet (penyair) yang
kesohor, Rudyard Kipling, dengan seruannya: "West is West and East is
East, and never the twain shall meet” (Barat itu Barat, dan Timur itu Timur,
dan dua-duanya itu tak akan pernah mendapatkan persesuaian). Memang begitu,
yang satu main golf, yang lain disuruh jadi budaknya, disuruh membawa tongkat
golf.
Permainan apa golf itu?
Sebenarnya permainan orang yang malas! Di Singapura kantor Inggris besar. Yang
tampak ada di luar ialah opas-opas bangsa Indonesia. Sesudah melewati beberapa
kamar maka barulah berjumpakan dewa pegawai Inggris yang berada jauh di dalam.
Begitulah keadan di dunia! Tidak mengherankan, karena si Haves di bawah
pimpinan Inggris, yang memecah-belah. Negeri yang besar-besar, seperti
Perancis, Russia, atau Jerman diadunya satu sama lain. Kalau Perancis kuat di
Eropa, maka Inggris dengan tangan sembunyi membantu Jerman. Kalau sebaliknya
Jerman menjadi kuat, maka Inggris membantu Perancis. Sedangkan negara
kecil-kecil selalu menjadi permainan diplomasi dan dikantonginya!
Asia dan Afrika selalu
dikangkanginya!
Bagaimana nasib dunia
seluruhnya kalau yang satu punya banyak, yang lain tak punya apa-apa? Tentu
yang tak punya tersembunyi atau terbuka menentang yang punya. Untuk mengadakan
imbangan dalam kekuatan, yang disebut Balance of Power, di bentuk lasykar
jajahan, terdiri dari Gurkha dan sebagainya. Dengan memecah belah dan mengadu
dombakan Eropa, mengadu dombakan dan mengangkangi Asia dan Afrika serta
membentuk Tentara Gurkha, Inggris mencoba meneruskan “imperialisme”-nya.
Maka masa 1918 – 1939
itu adalah sebenarnya ‘gewapende – vrede” saja, damai bersenjata, selalu siap –
sedia. Syahdan pada waktu 1939 itu Jerman telah kembali pula seperti sedia kala
(tahun 1914). Senjata sudah ada pula berlebih-lebihan. Orang dan serdadu sudah
banyak siap sedia pula.
Sedikit tentang
strategi. Buat kita perkara ini penting sekali. Strategi itu ada dua macam.
Yang pertama ialah
gerak-cepat. Yang kedua ialah mundur maju. Jerman punya strategi gerak-cepat,
menurut sistem Napoleon. Kumpulkan tenaga sebanyak mungkin, dan
sekonyong-konyong serbu, pecahkan dia punya garis yang lemah, kepung, hancurkan
satu-satu pecahan itu. Inilah sistem yang dicocoki oleh Nazi.
Ahli siasat perang
Jerman, seperti Von Berhardi dan Ludendorff juga bersandar atas siasat “gerak
cepat” Di tangan para opsir Jerman, terutama bagian pemuda, sudah seia buku
“alan sprah Zarathustra” yang memuja “Uebermensch”, filsafatnya Nietsche,
filsafat imperialisme, filsafat menyerang, filsafat memuja satria perang cocok
dengan semangat Jerman-Nazi. Tetapi bagaimana bisa menyerbu sekonyong-konytong,
kalau peperangan modern menghendaki pengumuman (ultimatum) perang lebih dahulu?
Pada permainan bola, si Referee (pemisah) mesti tanya dulu kepada kedua belah
pihak apakah masing-masing sudah siap. Baru ditiup peluit sebagai tanda
pertandangan sudah boleh dimulai. Tiada boleh salah satu kesebelasan menyerbu
saja, sebelum peluit berbunyi. Begitu juga adat orang bermain silat di
Minangkabau. Rendah sekali dianggap lawan yang mencida (mencedera), yakni
menyerang dengan tak memaklumkan lebih dahulu. Begitupun dalam perang modern,
lawan itu mesti diperingati lebih dahulu, bahwa kalau ini dan itu tak
diperkenankan (ultimatum) maka peperangan akan dimulai pada tanggal ini atau
itu!
Sebaliknya Inggris
adalah pengikut muslihat mundur-maju. Semboyan Inggris ialah “siapa tahan lama”
(Ausduern) itulah yang bakal menang. Pada permulaan perang, Inggris cuma
mempertahankan diri saja. Sementara itu ia terus menyusun tentara, ekonomi dan
bantuan dari luar negaranya dengan diplomasi yang sudah terkenal itu. Apabila
dorongan (shock) itu yang pertama bisa ditahannya, maka pastilah pada akhirnya
Inggris akan menang. Hal ini terjadi terhadap Napoleon dan perang dunia I dan
ke II. Muslihat mundur-maju itu dengan jaya ratusan tahun lampau dijalankan
oleh Roma terhadap serangan Carthago di bawah pimpinan Hannibal yang termasyhur
itu. Muslihat itu membutuhkan tempo yang lama.
Ringkasnya Hitler perlu
tempo sedikit. Inggris mau main lama. Makin lama ditunggu makin baik buat
Inggris karena letaknya di seberang laut.
Industrinya bisa dirubah
menjadi industri perang. Para diplomatnya yang ulung bisa dikerahkan buat
mencari kawan.
Kawan itu lebih mudah
didapat, karena kebanyakan negara sudah tergabung pada Volkenbond. Dalam
Volkenbond ini Inggrislah yang memainkan biola dengan suara paling tinggi.
Buat Jerman Nazi, yang
ingin mendapatkan putusan cepat di medan peperangan., perlulah ditilik kekuatan
Volkenbond itu. Hitler dan Jerman Nazi sudah saksikan bagaimana lemahnya
Volkenbond terhadap Jepang ceroboh mencaplok Manchuria. Lemah pula terhadap
Mussolini, yang merampas Abessinia.
Jaya atau gagalnya
Volkendbond itu tergantung pada bisa atau tidaknya ia menjalankan hukuman
(sanction) terhadap negara ceroboh. Tetapi bagaimana si Ceroboh bisa menghukum
si Ceroboh? Inggris itu si Ceroboh juga! Semua jajahannya didapatnya dengan
jalan ceroboh semenjak 300 tahun yang lampau. Si Ceroboh Inggris menghukum
kecerobohan Jepang, Italia atau Jerman dalam hakekatnya akan berarti menghukum
kecerobohan diri sendiri. Harakiri itu bukanlah sifat imperialisme Inggris.
Pertentangan dalam diri sendiri, di antara para pemimpin Volkendbond itulah
yang sebenarnya menghancurkan Volkendbond itu.
Pertentangan itu
tergambar pada pembagian dunia kapitalis-kapitalis: the haves and the
have-nots. Berdiri atas pertentangan yang tak boleh didamaikan itu, maka
Volkenbond itu adalah satu badan yang menunggu ajalnya saja. Pertentangan dalam
Volkendbond itu memudahkan Jerman-Nazi menjalankan gerak-cepat. Dengan tidak
perlu menghiraukan Volkenbond itu, maka Jerman bertindak sendiri: Polandia
diserbu, perlawanannya patah dalam beberapa hari saja. Belanda melagakkan
waterlini-nya, tetapi perlawanan Belanda itu tidak sampai 80 tahun. Belanda
boleh berlagak bisa menukar perang 80 tahun yang selalu dibanggakannya itu
menjadi perang 80 jam …. Perancis diserang …. Kalah dalam tiga minggu saja,
inilah hasil muslihat gerak-cepat dan persiapan lama dan “gruadlich”
(sempurna). Tetapi Jerman sendiri akan dinamakan oleh kekuatan persiapannya
yang mesti grundlich itu. Dia tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan cepat pada
keadaan baru, yang tiba-tiba datangnya seperti Napoleon.
Kemenangan atas Perancis,
yang lasykarnya dianggap terkuat di dunia itu rupanya melewati perhitungan
strategi Nazi. Kemenangan secepat itu membingungkan pemimpin militer Nazi.
Dengan gerak-cepat menyerang Inggris yang lemah di masa itu, dan meninggalkan
Perancis yang sebenarnya sudah menunggu knock-out saja boleh jadi Jerman bisa
merobohkan Inggris. Mungkin kemudian dengan Armada Jerman, Perancis, Italia,
Inggris, dan Jepang menyerbu ke Amerika yang belum siap itu. Tetapi gerak-cepat
zonder “persiapan grundlich” bukanlah sifatnya strategi Jerman.
Tentara Jerman akhirnya
tertahan oleh Inggris, karena Inggris mendapat kesempatan 2 bulan buat bersiap.
Terhambat di Inggris dan takut pada Beruang Merah, maka tentara Nazi dengan
sekonyong-konyong menyerang Soviet Russia. Tentara Nazi hampir sampai ke
Moskow. Di saat inilah Jepang dibujuk dengan tawaran membagi dunia “kalau”
menang. Jepang juga buntu di masa itu. Mesti pilih mati perlahan-lahan
disebabkan oleh gerilya Tiongkok dan pemboikotan ekonomi dari pihak ABCD atau
menerkam sebelum mati. Dia pilih yang terakhir. Jepang tidak menunggu referee.
Belum lagi ditiup peluit …. Armada Jepang ………. Goal di Hawai.
Begitulah keadaan
internasional sampai perang dunia kedua. Kita tahu siapa kalah dan siapa
menang. Sekarang sudah damai, tetapi bagaimana sifat United Nations? Apakah
undang-undangnya dapat dijalankan? Apakah kita mesti menggantungkan diri kita
saja kepada United Nations itu?
Satu aliran di antara
kita adalah bersandarkan pada kekuasaan Armada Inggris-Amerika di masa ini.
Kekuasaan itu dianggap seolah-olah kekal, bulat, absolut. Saya akui kekuasaan
Inggris-Amerika itu di masa ini. Tetapi sebagai satu moment dan penuh
pertentangan pula. Seperti semua barang di dunia ini, kekuasaan inipun adalah
relatif, bisa berubah, tidak tetap, absolut. Perhatikan sajalah perhubungan
Amerika dan Inggris. Sekarang Inggris berhutang banyak. Apa Inggris mau bayar
begitu saja? Sesudah perang dunia ke I Inggris ingkar membayar penuh hutangnya!
Awasilah sikap Inggris terhadap hutangnya itu atau janjinya! Nyata sudah
Inggris mau menjajah Indonesia langsung atau dengan perantaraan Belanda. Apakah
Amerika, Tiongkok dan Rusia, apalagi Hindustan akan membiarkan Indonesia
dicaplok buat memperkuat imperialisme Inggris?
Siapakah di antara
mereka yang menang ingin damai bisa membiarkan berdiri terus dunia “haves and
Have-nots”? Ringkasnya antara Amerika dan Inggris tiadalah “koek en ei” saja,
perkoncoan tulen. Begitu juga antara Inggris dan Soviet Russia. Perhatikanlah
pertentangan Inggris dan Soviet di Eropa Barat di Asia Barat dan Iran. Bisakah
kekal perhubungan Rusia proletaris dengan Amerika kapitalistis?
Ringkasnya Indonesia tak
perlu bertekuk lutut begitu saja pada kekuasaan Amerika-Inggris itu, karena
semata-mata beralasan anggapan kebulatan dan ketetapan perserikatan
Amerika-Inggris itu. Janganlah pula berpangku tangan mengharap-harapkan bantuan
United Nations yang sekarang sesudah perang dunia ke II ini kembali menghadapi
persoalan seperti sesudah perang dunia ke I: Pembagian dunia atas yang kalah
dan yang menang masih ada. Pembagian atas “the haves” and haves nots” terus
menerus. Hutang masih perlu dibayar oleh yang kalah. Pertanyaan akan timbul
kembali: “Apakah yang kalah mesti bayar hutangnya dengan uang atau dengan
barang?” Dimana pasar buat bahan dan barang hasil untuk the have-nots”? Cuma si
have-nots bukan lagi 80 juta. Jerman termasuk Austria, tetapi bertambah dengan
40 juta bangsa Italia dan 70 juta bangsa Jepang. Jumlah 190 juta! Yang akan
dihadapi oleh United Nations, ialah persoalan lama sebagai pusaka sistem lama,
satu vicieuse cirkle, seperti “menghasta kain sarung saja”, tak putus-putusnya.