Sejarah Komunis
Aliran Komunis:
Sejarah
Pada tanggal 23 Mei l920, Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan di Semarang
sepuluh tahun sebelumnya, berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India
(PKI). PKI merupakan organisasi pertama di Asia di luar kekaisaran Rusia,
menggunakan kualifikasi "Komunis." Partai Komunis Cina sendiri baru
didirikan setahun kemudian, yakni pada bulan Juli l92l. Orang yang ditugaskan
oleh Internationali
Comuniste untuk membantu Partai baru tersebut adalah Henk Sneevliet,
seorang organisator ISDV Belanda, yang pada tahun l9l8 diburu-buru oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda karena kegiatan-kegiatan revolusionernya.
Kata
"perserikatan" dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata
Belanda "Partij." Sedang nama PKI itu
sendiri, menurut dokumen awal dari organisasi tersebut, merupakan kependekan
dari bahasa Melayu "Perserikatan Komunis di India," yang bila di
Belandakan menjadi "Partij der Kommunisten in Indie." Pada tahun
l927, kata "perserikatan" digunakan oleh PNI, sebelum menetapkan
namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Dalam konggres bulan Juni
l924 di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat), Perserikatan Komunis di India
diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia,
ini merupakan pertama kalinya di Hindia Belanda, sebuah organisasi memakai kata
"Indonesia". Sebetulnya sejak tahun l922 sudah terdapat sebuah
organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging,
yang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan
Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland, bukan di negeri
jajahan.
PKI juga merupakan
organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi
"Partai" dalam nama resminya, dalam bahasa Melayu. Pergantian kata
"perserikatan" menjadi "Partai," merupakan bagian dari
konflik terbuka sejak tahun l922 di dalam tubuh Sarekat
Islam, antara militan pro komunis dan yang menentangnya. Sarekat Islam, sejak awal tahun l9l0 dan di sepanjang
awal tahun l920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh, suatu
gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial-politik di Indonesia, di mana
organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara
sosiologis maupun geografis, dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa,
melainkan juga di Sumatera dan kawasan lain. Anggota-anggota ISDV (kemudian
PKI) seringkali merangkap anggota Sarekat Islam.
Pada awalnya keanggotaan rangkap tersebut tidak menimbulkan masalah dan tidak
bertentangan dalam hal agama; lagipula Sarekat Islam
tidaklah menjadi lebih atau kurang sekuler pada saat telah menjadi gerakan
massa, Tapi pembengkakan pengaruh ide-ide komunis di tengah gerakan dan
munculnya persaingan guna merebut kepemimpinan, telah mendorong para pimpinan
yang ada, yang khawatir akan kedudukannya, mencoba menunjukan adanya ketidak
sesuaian antara Islam dengan Komunisme, Sambil menekankan ciri keislaman dari Sarekat Islam, dan menganggap hal yang mustahil
anggota suatu organisasi Islam merangkap menjadi anggota organisasi Komunis.
Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian
mengusulkan agar gerakan SI dianggap sebagai sebuah Partai—dalam pengertian
Belanda "Partij"—dan melarang
anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan. Dari sini
nampak bahwa kata "partij" mengandung
arti khusus yang tidak dipunyai oleh kata "sarekat", yang tidak cukup
jelas dalam mencerminkan pengertian "perserikatan": Organisasi dengan
kata Partai memiliki kelainan, yakni kekhususan bahwa seseorang tidak dapat
menjadi anggota banyak partai pada saat yang sama, padahal ia boleh menjadi
anggota banyak "sarekat" atau anggota suatu "sarekat" dan
suatu "Partai." Jadi ketika PKI memilih kata "Partai," ini
merupakan pernyataan adanya sifat eksklusif dari kelompok tersebut, dimana
berlaku berbagai peraturan ketat organisasi serta disiplin tertentu. Sedangkan
SI sendiri, baru pada tahun l927 menyepakati nama Partai
Sarekat Islam; namun pada saat itu, organisasi tersebut sudah tidak lagi
menampilkan gambaran sebagai sebuah organisasi yang kuat seperti sepuluh tahun
sebelumnya.
soekarno & Fidel Castro
Oleh : Dr Haridadi Sudjono (Mantan Dubes RI untuk Kuba)
Castro
mengatakan dengan tegas, dirinya adalah murid Bung Karno. Itu
dikemukakannya sendiri kepada Bung Karno,ketika dua tokoh Gerakan
Nonblok ini bertemu, dan kepada Adam Malik ketika almarhum menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri RI. Secara terbuka Castro menegaskan bahwa
dirinya telah mengadopsi ajaran-ajaran Presiden RI pertama itu untuk
dijadikan acuan guna memimpin negaranya. Ajaran yang mana?
Tentu, bukan Pancasila, nasakom, atau marhaenisme, melainkan trisakti dan resopim. Castro yang dikenal sebagai tukang ekspor revolusi ini ternyata juga telah mengimpor teori revolusi ajaran Bung Karno. Selama penulis menduduki pos sebagai Dubes RI (1999–2003) di negeri yang luasnya tak lebih dari Pulau Jawa ini, tampak bahwa pemerintahan di bawah Fidel Castro konsisten mempraktikkan dua ajaran tersebut yang tentu saja sudah diolah menjadi trisakti dan resopim ala Kuba.
Tentu, bukan Pancasila, nasakom, atau marhaenisme, melainkan trisakti dan resopim. Castro yang dikenal sebagai tukang ekspor revolusi ini ternyata juga telah mengimpor teori revolusi ajaran Bung Karno. Selama penulis menduduki pos sebagai Dubes RI (1999–2003) di negeri yang luasnya tak lebih dari Pulau Jawa ini, tampak bahwa pemerintahan di bawah Fidel Castro konsisten mempraktikkan dua ajaran tersebut yang tentu saja sudah diolah menjadi trisakti dan resopim ala Kuba.
Sebagaimana
kita ketahui,ajaran trisakti Bung Karno ini mencakup, pertama, berdaulat
dalam politik; kedua,berdiri di atas kaki sendiri (berdikari atau
mandiri) di bidang ekonomi; ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan.
Adapun resopim yang merupakan judul pidato Bung Karno pada 17 Agustus
1961 adalah merupakan akronim dari “revolusi, sosialisme Indonesia, dan
pimpinan nasional”.
Tentu saja
dalam versi Kuba sosialisme Indonesia juga diolah menjadi sosialisme
Kuba yang secara filosofis berbeda dengan Indonesia. Sosialisme
Indonesia berdasarkan Pancasila, sedangkan sosialisme Kuba berdasarkan
teori Marxis. Namun, secara substansial keduanya mengusung cita-cita
sama, yakni sosialisme yang antikapitalisme. Kuba tak mau didikte dan
dijajah oleh Barat di bidang ekonomi,politik, dan budaya. Kuba menolak
campur tangan IMF.
Bahkan Fidel
Castro menyerukan agar IMF sebagai lembaga pendanaan kapitalis yang
sifatnya menindas negara-negara sedang berkembang dibubarkan saja. Sikap
kemandirian itu berbeda dengan Indonesia yang selama Orde Baru justru
pembangunan ekonominya dibayang-bayangi IMF sehingga terpuruk dalam
krisis moneter (krismon) yang berkepanjangan dan menimbulkan beban utang
yang terus membengkak hingga hari ini.
Kuba
membangun negara dan rakyatnya dengan mengandalkan kekuatan ekonominya
sendiri. Bukan mengandalkan utang luar negeri. Inilah prinsip berdikari
di bidang ekonomi yang diajarkan Bung Karno, tetapi dipraktikkan secara
konsisten oleh Castro. Dengan berdikari dibidang ekonomi, Kuba dapat
mempertahankan kedaulatan politiknya dan juga kebudayaan nasionalnya.
Dengan
program pembangunan yang berbasis ajaran Bung Karno itu, Kuba kini
merupakan negara kecil yang berpotensi besar. Di bidang kesehatan, Kuba
mendapat pengakuan dari WHO sebagai salah satu negara dengan tingkat
pemeliharaan kesehatan terbaik di dunia.Tingkat kematian bayi hanya 6,2
per 1.000 kelahiran dan usia harapan hidup mencapai rata-rata 76
tahun.Kuba telah mengekspor ribuan tenaga terdidik ke seluruh dunia
setiap tahunnya, mencakup dokter, insinyur pertanian, pelatih olahraga,
dan lain-lain yang menghasilkan devisa amat besar bagi negara.Hal itu
terjadi karena mereka yang bekerja di negeri asing dipotong gajinya
hingga 50% yang harus disetorkan kepada pemerintah.
Bandingkan
dengan tenaga kerja Indonesia yang kebanyakan hanya tenaga kasar dengan
gaji murah dan mereka masih diperas oleh yayasan pengirim tenaga kerja.
Meskipun menganut sistem sosialis-komunis,Kuba terbuka bagi modal
asing.Dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 77 Tahun
1995,banyak negara dan perusahaan skala internasional menanamkan
modalnya di Kuba secara bebas,kecuali di bidang pendidikan, kesehatan,
dan pertahanan yang terlarang bagi investasi asing.
Kebijakan
ini berbeda dengan UU PMA Indonesia yang dikeluarkan di awal
pemerintahan Orde Baru. UU tersebut tanpa barikade sehingga ekonomi
nasional malah didominasi kekuatan asing.Kuba juga menjamin kebebasan
beragama, berkumpul, dan berserikat yang tertuang dalam hasil Sidang
Majelis Nasional Kuba pada 10 Juli 1992. Kuba bukan negara kaya, tetapi
juga bukan negara miskin.
Pemerintah
Kuba menerapkan ajaran Bung Karno dengan pola hidup sederhana, membangun
dengan kekuatan ekonomi sendiri, dan selalu menerapkan prinsip “ukur
baju badan sendiri”. Bagi Indonesia, kita perlu mengambil pelajaran dari
sisi positif praktik sistem pemerintahan Castro yang mengaku “berguru”
kepada Bung Karno itu tanpa harus menjadi Kuba karena sistem politik
Indonesia memang jauh berbeda dengan yang dianut negeri di kawasan
Karibia itu
Sukarno & Sukarnoisme
Sukarno & Sukarnoisme
Sukarno banyak dipuja-puji masyarakat Indonesia. Ia yang lahir pada 6 Juni 1901 dari ayah, seorang priyayi jawa bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo, sangat kental diwarnai sinkretisme ajaran Kejawen. Ayahnya menemukan jodoh di Bali, yakni Idayu Nyoman Rai, seorang wanita dari kasta Brahmana. Perkawinan itu tidak direstui oleh keluarga Idayu karena sang mempelai pria bukan dari keturunan Brahmana. Di Bali, Raden Sukemi yang mendapatkan sertifikat untuk mengajar sekolah pribumi, sempat menjadi asisten professor Van Der Tuuk, Sarjana Belanda ahli bahasa Indonesia, yang giat meneliti bahasa Bali. Kakak perempuan Sukarno, Soekarmini, lahir di Singaraja-Bali, sedangkan Sukarno sendiri lahir di Surabaya dengan nama Kusno Sosro Sukarno.
Sukarno kecil sangat menyukai pertunjukan wayang kulit dengan kisah-kisah dari Ramayana maupun Mahabarata. Ia sangat terpengaruh oleh kisah-kisa tersebut. Sehingga Sukarno sangat menyerap ajaran-ajaran Kejawen yang diutarakan lewat wayang. Ia mendapatkan semua itu dari kakeknya, Raden Hardjodikromo di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani. Melalui ayahnya pula, Sukarno diperkenalkan pada ajaran-ajaran teosofinya Annie Besant, Madame Blavatsky dan WQ Judge. Teosofi ini sangat abstrak dan tidak jelas mana agama yang benar, yang jelas didalam teosofi ini semua agama dianggap benar. Kelak, ketika Sukarno telah menjadi presiden, ajaran-ajaran tersebut sangat berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Pada 1914, Sukarno mulai masuk ke ELS (Europe Lagere School) dimana ia mempelajari beberapa bahasa asing. Salah seorang gurunya memberikan nama panggilan Karel buat Sukarno. Selanjutnya, di tahun 1916, Sukarno belajar HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Ia dititipkan pada HOS Cokroaminoto, seorang nasionalis muslim yang kharismatik. Dari Cokroaminoto, Sukarno mempelajari seni pidato dan retorika. Sekaligus ia meminta ijin untuk mengambil gambar Banteng dari keseluruhan lambang Sarekat Islam, untuk kelak dijadikan lambang gerakannya. Kehidupan bersama Cokroaminoto inilah yang kemudian memperkenalkan Sukarno pada aspek-aspek penting dari paham kebangsaan, fenomena politik dan taktik memobilisasi massa.
Di Surabaya, Sukarno mulai berkenalan dengan aktivitas Indies Communist Party yang merupakan kelanjutan dari ISDV (Indische Sociaal-Democrat Vereniging) yang didirikan tahun 1914 dan dipimpin oleh Hendrik Sneevliet. Sedangkan pemahaman Sukarno tentang Marxisme pertama kali diberikan oleh Alimin, yang bersama Semaun telah memporak-porandakan organisasi Sarekat Islam. Selain itu, Sukarno juga berkenalan dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) yang mendirikan Taman Siswa. Dari Suwardi, Sukarno mempelajari banyak kebudayaan Jawa pra-Islam. Tahun 1921, ia melanjutkan studinya di Technisch Hooge School (THS) Bandung dan pernah menghadiri kongres PKI tahun 1923 yang diselenggarakan dikota tersebut.
Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.
Sesudah Kemerdekaan
Sukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam mencermati perkembangan demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan “negara” Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk kedalam wilayah Jawa Barat.
Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureu’eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya “ganyang Malaysia”.
Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris (SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari pemikiran-pemikiran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan sembari memberangus prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar ’45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang pada dekade ’60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat menguntungkan para politisi di sekitarnya.
* * *
(Dari rubrik Sejarah, Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 1998)
Sukarno banyak dipuja-puji masyarakat Indonesia. Ia yang lahir pada 6 Juni 1901 dari ayah, seorang priyayi jawa bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo, sangat kental diwarnai sinkretisme ajaran Kejawen. Ayahnya menemukan jodoh di Bali, yakni Idayu Nyoman Rai, seorang wanita dari kasta Brahmana. Perkawinan itu tidak direstui oleh keluarga Idayu karena sang mempelai pria bukan dari keturunan Brahmana. Di Bali, Raden Sukemi yang mendapatkan sertifikat untuk mengajar sekolah pribumi, sempat menjadi asisten professor Van Der Tuuk, Sarjana Belanda ahli bahasa Indonesia, yang giat meneliti bahasa Bali. Kakak perempuan Sukarno, Soekarmini, lahir di Singaraja-Bali, sedangkan Sukarno sendiri lahir di Surabaya dengan nama Kusno Sosro Sukarno.
Sukarno kecil sangat menyukai pertunjukan wayang kulit dengan kisah-kisah dari Ramayana maupun Mahabarata. Ia sangat terpengaruh oleh kisah-kisa tersebut. Sehingga Sukarno sangat menyerap ajaran-ajaran Kejawen yang diutarakan lewat wayang. Ia mendapatkan semua itu dari kakeknya, Raden Hardjodikromo di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani. Melalui ayahnya pula, Sukarno diperkenalkan pada ajaran-ajaran teosofinya Annie Besant, Madame Blavatsky dan WQ Judge. Teosofi ini sangat abstrak dan tidak jelas mana agama yang benar, yang jelas didalam teosofi ini semua agama dianggap benar. Kelak, ketika Sukarno telah menjadi presiden, ajaran-ajaran tersebut sangat berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Pada 1914, Sukarno mulai masuk ke ELS (Europe Lagere School) dimana ia mempelajari beberapa bahasa asing. Salah seorang gurunya memberikan nama panggilan Karel buat Sukarno. Selanjutnya, di tahun 1916, Sukarno belajar HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Ia dititipkan pada HOS Cokroaminoto, seorang nasionalis muslim yang kharismatik. Dari Cokroaminoto, Sukarno mempelajari seni pidato dan retorika. Sekaligus ia meminta ijin untuk mengambil gambar Banteng dari keseluruhan lambang Sarekat Islam, untuk kelak dijadikan lambang gerakannya. Kehidupan bersama Cokroaminoto inilah yang kemudian memperkenalkan Sukarno pada aspek-aspek penting dari paham kebangsaan, fenomena politik dan taktik memobilisasi massa.
Di Surabaya, Sukarno mulai berkenalan dengan aktivitas Indies Communist Party yang merupakan kelanjutan dari ISDV (Indische Sociaal-Democrat Vereniging) yang didirikan tahun 1914 dan dipimpin oleh Hendrik Sneevliet. Sedangkan pemahaman Sukarno tentang Marxisme pertama kali diberikan oleh Alimin, yang bersama Semaun telah memporak-porandakan organisasi Sarekat Islam. Selain itu, Sukarno juga berkenalan dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) yang mendirikan Taman Siswa. Dari Suwardi, Sukarno mempelajari banyak kebudayaan Jawa pra-Islam. Tahun 1921, ia melanjutkan studinya di Technisch Hooge School (THS) Bandung dan pernah menghadiri kongres PKI tahun 1923 yang diselenggarakan dikota tersebut.
Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.
Sesudah Kemerdekaan
Sukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam mencermati perkembangan demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan “negara” Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk kedalam wilayah Jawa Barat.
Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureu’eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya “ganyang Malaysia”.
Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris (SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari pemikiran-pemikiran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan sembari memberangus prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar ’45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang pada dekade ’60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat menguntungkan para politisi di sekitarnya.
* * *
(Dari rubrik Sejarah, Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 1998)
APAKAH SOSIALISME ANTI AGAMA?
APAKAH SOSIALISME ANTI AGAMA?
Tidak !!!.Sosialisme tidak anti agama. Agama adalah urusan setiap pribadi dan setiap orang bebas untuk menentukan kepercayaannya, termasuk untuk tidak percaya pada suatu kepercayaan sekalipun. Sejak kecil kita sudah diajarkan di sekolah, bahwa ‘agama’ adalah hubungan paling personal antara seorang individu dengan Tuhannya, karena itu tidak ada orang yang dapat mengatur, menentukan, dan mengendalikan hubungan itu.
Yang tidak diinginkan adalah, keadaan di mana manusia menjadi diperbudak oleh agamanya. Manusia menjadi lupa tentang hidupnya sebagai manusia di bumi, lupa akan permasalahan sosial yang melanda kehidupannya dan kehidupan sesamanya, dan hanya ingat untuk mengejar surga. Akibatnya seseorang menjadi pasifis, seseorang tidak peduli pada keadaan sosialnya, masyarakat menjadi semakin mudah dieksploitasi oleh orang-orang yang berkuasa secara politik dan ekonomi.
Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, Marx juga mengatakan agama adalah keluhan para mahluk tertindas. Di sinilah hal ini berlaku. Agama menjadi semacam penghiburan bagi masyarakat yang tertindas oleh sistem, menjadi pelarian dan pelampiasan segala beban kehidupan yang dihasilkan dari penindasan secara ekonomi dan politik. Tetapi candu ini menjadi berbahaya ketika manusia semakin larut berputar-putar di dalamnya, manusia melupakan permasalahan sebenarnya bahwa masyarakat tertindas oleh sistem, dan cenderung terus menerus berkutat di permasalahan surga-neraka.
Dalam beberapa kasus, masyarakat bukan hanya larut dalam urusan surga-neraka, melainkan menjadi fanatik terhadap agamanya. Muncul kebencian terhadap kepercayaan lain, bahkan mewujudkan kebencian itu dalam tindakan nyata. Hal ini semakin menguntungkan pihak penguasa politik dan ekonomi. Fanatisme bahkan dapat digunakan dengan sengaja oleh penguasa untuk menciptakan konflik antar kepercayaan. Masyarakat tertindas semakin larut dalam urusan agama dan tidak lagi peduli pada kehidupan nyata dan permasalahan-permasalahan sosialnya, dan kemudian mereka menjadi terpecah belah berdasarkan agama. Semakin jauh dari usaha untuk memperbaiki kehidupan sosial, apalagi usaha untuk merombak sistem penindas.
Karena itu masyarakat harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Setiap orang bebas beragama, tetapi setiap orang juga harus memperjuangkan kehidupan nyatanya yang benar-benar ada di depan mata saat ini: Memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, membongkar sistem penindasan yang sekarang berkuasa.
Apakah Sosialisme Mempunyai Moralitas?
Tentu saja.
Agama adalah sumber standar moralitas yang utama, alat penentu kebaikan dan kebenaran pada masyarakat kita. Baik, benar, atau salah ditentukan dengan membandingkannya dengan apa yang dikatakan oleh agama, apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh agama, apa yang tertulis dalam buku-buku agama.
Tetapi moralitas agama tidak akan mungkin berlaku benar-benar universal pada kehidupan manusia karena ada berbagai macam agama dan tiap agama memiliki standar-standar moralitasnya masing-masing, yang walaupun masih ada titik temunya tetap akan terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin dan tidak adil untuk menilai benar atau salah perbuatan seorang beragama A dengan standar moralitas agama B.
Lebih lagi, di masa sekarang, seringkali agama telah digunakan oleh pihak yang berkuasa sebagai tameng, sebagai alat pengekang, dan sebagai alat pemecah-belah untuk melemahkan perjuangan sosial kelas tertindas, membuat mereka terbuai mimpi indah surgawi setelah mati nanti. Orang yang melawan dan memberontak terhadap penguasa dikatakan tidak bermoral dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan manusia harus selalu bisa menerima keadaan, menerima takdir, dan menganggap kesulitan hidup sebagai cobaan dari Tuhan.
Moral dan tolak ukur kebaikan dan kebenaran telah ditentukan oleh penguasa. Apa-apa yang dapat membahayakan penguasa adalah tidak bermoral, jahat, dan salah; sementara apa yang mendukung dan memperkuat posisi penguasa adalah bermoral, baik, dan benar. Standar moral yang ‘gila’ seperti ini tidak dapat terus menerus digunakan jika manusia memang ingin melepaskan diri dari lingkaran setan penindasan dan eksploitasi.
Karena itu sosialisme-komunisme meletakkan standar moralnya bukan kepada agama, tetapi kepada kemanusiaan itu sendiri.
Adalah tidak bermoral untuk merampas hasil pekerjaan orang lain. Adalah tidak bermoral untuk mengeksploitasi nafsu konsumerisme orang lain, menindas pemikiran dan perjuangan, menggusur tempat hidup dan tempat mencari nafkah, membunuh orang lain. Adalah tidak bermoral untuk mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, dan agama. Adalah tidak bermoral untuk mempekerjakan buruh di bawah umur. Adalah tidak bermoral untuk menekan upah buruh seminim mungkin dan memecat mereka demi mencapai profit tertinggi. Adalah tidak bermoral untuk menempatkan PROFIT di atas KEMANUSIAAN. Dan lain-lain.
Itu adalah contoh-contoh moralitas dalam sosialisme. Kita mempunyai moral, yang tampaknya jauh lebih bermoral (bahkan bertolak belakang) dari standar moral para kapitalis.
Kaum kapitalis adalah pengguna standar ganda. Mereka menggunakan standar moral yang tinggi sekali – bahkan menggunakan standar moral agama – ketika menilai perbuatan manusia pada umumnya. Karena itu perbuatan menentang penguasa, ide untuk merombak dan memberontak dari keadaan hidup yang sulit dan melarat mereka anggap sebagai salah, tidak baik, dan tidak bermoral.
Tetapi sementara itu mereka akan menggunakan standar moral lain lagi ketika segala perbuatan-perbuatan tidak bermoral mereka mulai disinggung (penghisapan, penindasan, eksploitasi, dan berbagai macam hal yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap kelas pekerja dan masyarakat melarat). Dalam membela tindakan tidak bermoral yang dilakukannya, kapitalis menggunakan dalih-dalih semacam “merampok atau dirampok”, “makan atau dimakan”, “hukum alam”, “yang kuat yang menang”, “hidup itu keras”, dan berbagai macam dalih dan alasan lainnya.
Tetapi kita – kaum sosialis – menjawab: “Bukankah akan lebih baik kalau manusia dapat hidup bersama-sama dalam kesetaraan? Mengolah alam ini bukan untuk profit segelintir orang, melainkan untuk pemenuhan keperluan dan kebutuhan bersama-sama? Mengambil dari tiap orang sesuai kemampuannya dan memberikan kepada setiap orang sesuai keperluannya?” Bukankah lebih baik kalau tidak perlu ada yang merampok dan dirampok? Bukankah lebih baik kalau dunia ini diabdikan bukan untuk profit, melainkan untuk kemanusiaan??
AKSI KEKERASAN MASSA : Cerminan Kegagalan Otoritas Negara
AKSI KEKERASAN MASSA : Cerminan Kegagalan Otoritas Negara
Herman Guritno*
Merdeka Indonesia!
Saudara-saudara sebangsa setanah air,
Zaman yang
kita lalui ini adalah zamannya berganti bulu, zamannya perubahan atau
transisi. Telah 63 tahun lamanya Negara kita berdiri dengan megahnya,
terangnya Negara kita di angkasa bagaikan terangnya sebutir mutiara di
lautan luas yang berkilauan dengan indahnya. Banyak sudah
peristiwa-peristiwa yang kita lampaui bersama selama 63 tahun itu, baik
pahit maupun manis semuanya sudah kita terjuni dan Alhamdulillah saya
bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Negara kita masih tegap berdiri
dengan kokohnya serasa tak ada sedkit pun rasa gentar di raut wajahnya
Bangunan Indonesia itu. Tentu serasa mimpi kita dan terheran-heran
dibuatnya, apa gerangan Bangunan Indonesia itu masih tegap berkibar
sampai saat ini?
Persatuan
nasional, ya, persatuan itulah yang membuat kita tak akan gentar
meskipun terjangan ombak dan angin rintangan terus menghujani bangunan
yang kita cintai itu. Hal itu berangkat dari kesadaran yang tinggi,
bahwa kita adalah satu bangsa, kita sadar pada apa yang pernah dikatakan
oleh seorang pujangga yaitu Ernest Renan yakni, Bangsa itu adalah satu
jiwa. Menurutnya pula bahwa satu bangsa dapat tercipta karena adanya
keinsyafan tentang persamaan nasib atas satu riwayat tertentu dan adanya
kebulatan kemauan yang sama untuk bersatu. Segala keberagaman dari
agama, adat, suku, bahasa dan sebagainya dapat digandengkan dengan
rapatnya satu sama lain yang masing-masing berpijak di atasnya pada
suatu permadani indah yakni Pancasila. Tahukah saudara apa yang menjadi
musuh dari Persatuan Nasional itu? Perpecahan jawabnya, maka jauhkan dan
bencilah ia sejauh-jauhnya, karena Perpecahan Bangsa atau desintegrasi
itu pun benar-benar mengotori, mengoyak dan meracuni Pancasila. Tapi
lihatlah Bangsa Indonesia yang kita cintai itu! Berbagai kasus
desintegrasi bangsa muncul, antar sesama rakyat Indonesia berselisih dan
sekarang marak kondisi bangsa kita dengan aksi kekerasan massa.
Tidaklah
pantas sesama orang Indonesia terpecah belah satu sama lain. Sangatlah
prihatin kita tentunya satu sama lain saling memusuhi dan menyakiti.
Bukankah kita sangat mencintai perikemanusiaan sama halnya dengan
Mahatma Gandhi yang mengatakan bahwa nasionalismeku adalah
Perikemanusiaan. Meskipun ia seorang nasionalis, yang salah satu bagian
dari suatu asas yang ada di dunia, tetapi ia tetap mengedepankan
perikemanusiaan itu.
Di
samudranya Indonesia saat ini sedang dipenuhi mendung tebal dari
maraknya tindak kekerasan massa atau yang biasa diterjemahkan oleh media
sebagai tindakan anarkis. Tindakan kekerasan itu sangat berhubungan
sekali dengan Persatuan Nasional itu, jikalau itu tidak segera
ditanggulangi, maka tentulah ia semakin melicinkan jalannya ke arah
perpecahan bangsa. Seolah-olah tindakan kekerasan massa itu menjadi
suatu hal yang menjadi kebudayaan masyarakat kita. Contoh kasus yang
beredar misalnya adalah kasus pembakaran mapolsek parsiapan, Labuapi,
Lobar, NTB karena perilaku polisi yang menembak mati seorang pencuri
motor. Kasus kekerasan golongan tertentu yang mengatasnamakan agama
tertentu yang merusak fasilitas tertentu milik orang lain dan terhadap
orang yang berbeda keyakinan. Sampai pada kasus penyerbuan aparat
keamanan terhadap mahasiswa di Kendari karena menolak penggusuran PKL di
daerah kampus dan masih banyak contoh kekerasan lainnya di negeri ini.
Sebelum
masuk ke pembahasan tindak kekerasan itu, marilah kita terlebih dahulu
mengupas mengapa kasus kekerasan atau pengrusakan selama ini
diterjemahkan sebagai tindakan anarkisme. Padahal antara tindakan
kekerasan tidak sama pengertiannya dengan anarkisme itu. Saya kira ini
bisa dikatakan sebagai penyalahtafsiran arti anarkisme itu yang berarti
bertolakbelakang dengan fungsi media sesungguhnya dalam mencerdaskan
bangsa. Makna yang sesungguhnya dari anarkisme adalah suatu paham yang
mempercayai bahwa segala bentuk Negara pemerintahan dengan kekuasaannya
adalah lembaga-lembaga yang dianggap menyuburkan penindasan terhadap
kehidupan. Sehingga menurut paham anarkisme itu Negara, pemerintahan dan
perangkatnya harus dihilangkan atau dihancurkan. Anarkis adalah orang
yang menganut anarkisme itu. Tokoh-tokoh penganut anarkisme itu antara
lain Pierre-Joseph Prodhoun (1809-1865), Michael Bakunin(1814-1876) dan
Peter Kropotkin(1842-1921).
Penyalahtafsiran
kekerasan massa dengan menggunakan kata anarkis massa saya kira
berangkat dari sejarah pengikut anarkisme yang sebagian menggunakan
jalur perjuangannya dengan jalan kekerasan. Hal itu dapat dilihat dari
slogannya kaum anarkis spanyol pengikutnya Durruti, yakni : “Terkadang
cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan”. Lebih tepatlah
kiranya Anarkisme itu diartikan sebagai paham kebebasan dibandingkan
dengan tindak kekerasan dan pengrusakan.
Kembali ke
sorotan utama dari tulisan ini, tindak kekerasan dan pengrusakan massa
sebenarnya lahir dari tidak adilnya pemerintah melalui aparat hukumnya.
Mereka cenderung tebang pilih dalam menegakkan keadilan. Begitupun
aparat birokrasinya yang cenderung korupsi dan tidak peka terhadap
penderitaan rakyat. Banyak pejabat-pejabat negeri ini yang menggunakan
lembaga keadilan sebagai panggung politik, mereka beranggapan hanya
dengan segenggam uang dan selembar cek tunai, hukum dapat
diperjualbelikan. Seperti contoh kasus di atas, maling motor dengan
teganya ditembak mati, sedangkan pihak birokrat yang mencuri uang Negara
bermilyar jumlahnya terkadang hanya di penjara beberapa tahun, bahkan
ada yang tidak diusut. Di mana keadilan? Mestinya pencuri motor itu
harus mendapat hukuman yang semestinya, tak pelak lagi massa pun marah
dan membakar Mapolsek di NTB. Saya kira siapapun manusia yang dicongkel
matanya, maka akan melawan. Bisa kita lihat pula di kehidupan
sehari-hari, sebagian aparat penegak hukum tampaknya lebih senang
menangkap pelanggar lalu lintas dibandingkan menangkap para penjahat..
Yang perlu kita tekankan saat ini adalah, berlakukanlah hukum itu dengan
semestinya sesuai dengan landasan hukum yang ada. Belum lagi sikap
pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, pemerintah
lebih condong memberi makan pihak-pihak kapitalis dibandingkan dengan
rakyat yang dipimpinnya sendiri. Kebijakan pemerintah banyak yang
menguntungkan kaum kapitalis dan mengabaikan penderitaan rakyat. Seperti
yang terjadi di Kendari, penolakan kaum mahasiswa terhadap penggusuran
PKL, dibalas dengan penyerbuan polisi, dan mahasiswa pun melawan, maka
terjadilan pengrusakan-pengrusakan.. Apakah para penegak hukum itu tidak
tahu bahwa fungsi Kampus adalah sebagai pengontrol terhadap apa-apa
yang dianggap secara moral salah. Lembaga-lembaga Negara lainnya pun
sama keblingernya, sebagian diantara mereka seolah-olah hanya mengejar
kekayaan. Belum apa-apa sudah minta dana ini, dana itu alih-alih untuk
meningkatkan kinerja mereka. Sidang-sidang lembaga tersebut seolah hanya
dijadikan sebagai ajang lomba debat yang mengejar penonjolan diri,
tujuannya tentu ke arah eksistensi dan ego, bukan karena keresahan
nurani terhadap nasib bangsa.
Ketidakadilan
dan ketidakseriusannya Pemerintah beserta perangkat dan lembaga Negara
lainnya yang menjadi pemicu merebaknya tindak kekerasan massa di
samudranya Indonesia itu. Rakyat dan mahasiswa sudah merasa frustasi
melihat perilaku orang-orang di Pemerintahan dan lembaga-lembaga Negara
lainnya yang tidak bermoral dan tidak peka. Kebanyakan aksi kekerasan
massa itu timbul karena acuhnya Pemerintah itu terhadap koreksi yang
dilakukan Mahasiswa dan rakyat.
Dapatlah
kita tarik dari kesemuanya itu bahwa tindakan kekerasan massa yang
selama ini meroket merupakan gambarannya kegagalan para otoritas
negara saat ini dalam mengurusi negara kita tercinta. Mulailah saatnya
kita melanjutkan Revolusi menuju Sosialisme Indonesia menggantikan
sistem Kapitalisme yang masih subur di Negara kita.. Sampai kapanpun
jikalau praktek kapitalisme masih berdiri di Indonesia, maka
kesejahteraan masyarakat timpang. Karena kapitalisme itu pula aparat
penegak hukum mau menerima imbalan untuk bersikap tidak adil. Dorong
terus pemerintah untuk berpihak pada rakyat dan konsistensi melanjutkan
cita-cita Sosialisme Indonesia itu. Mari bersatu semua Mahasiswa
Indonesia bersama rakyat maju ke tengah medan menuntut pemerintah
memperbaiki itu semua dan adakan penyadaran massa tentang sosialisme
indonesia. Tonjolkanlah radikalisme massa, bukan Kekerasan dan
pengrusakan. Kekerasan yang dilakukan yang berdasarkan perbedaan
golongan misalnya atas nama agama, tidak bisa dibenarkan, karena Negara
kita adalah menjunjung tinggi keberagaman dan perikemanusiaan. Mari
dorong Pemerintah memberikan pencerahan atau teladan yang baik bagi
masyarakat banyak. Kobarkan Pancasila, padamkan usaha-usaha yang dapat
memecah belah bangsa. Ada kalanya tindak kekerasan itu disusupi
kepentingan tertentu untuk memecah belah bangsa, maka hadanglah ia
dengan semangat yang menggemparkan.
Sekian saudara-saudara
Langganan:
Postingan (Atom)