AGAMA DAN SOSIALIS

oleh imen jumoc
Salam perjuangan kawan2,
telah banyak penindasan, penghisapan, eksploitasi, bahkan pelecehan seksual terhadap kaum miskin, kota, desa, petani, nelayan, buruh, dan lain sebagainya, oleh para kapital2 domestik dan birokrasi2 busuk yang mengatas namakan kepentingan individualistik bukan kepentingan sosial, mereka meraja lela, berdominasi menuju puncak hegemoni imperealisme, memberikan santunan2 indah untuk mewujudkan kebejatanya kawan, menindas hak asasi menusia demi profit yang lebih banyak dari yang sewajarnya kawan2, menghisap tenaga kerja, eksploitasi tenaga kerja, bahkan lebih menyakitkan memerkosa dan menganiaya tenaga kerja, mereka berjanji atas nama agama dan tuhan.y, tapi apa yang kemudian hadir kawan2, perjanjian indah ini telah dihancurkan demi kepentingan nepotisme. wajar saja segelintir orang menganggap agama tak upahnya seperti candu kehidupan, mereka yang beragama lebih mementingkan hubungannya dengan tuhannya, bukan dengan sesamanya, mereka lupa akan banyaknya rakyat yang tertindas oleh kebijakan, bahkan dikatakan tidak bermoral oleh agama ketika anarkisme dilakukan oleh segelintir mahasiswa yang berdemonstrasi dipinggir jalan, kaum agamais tidak memandang kenapa, bagaimana, dan mengapa mahasiswa melakukan hal yang demikian, jawaban.y 1 kawan2 mereka acuh tak acuh untuk tau bagaiman sebenarnya yang terjadi di negara ini, tentang bagaimana penguasa menghisap, menganiaya, dan menindas, secara diam2 dan bahkan terang2ngan.
Mari wujudkan sosialisme indonesia seperti yang diinginkan bungkarno, sosialisme pancasila yang relegius, hilangkan nepotisme, korupsi bahkan kolusi, satukan pergerakan untuk sosialisme,
VIVA SOSIALISME INDONESIA,

Sejarah Komunis



Aliran Komunis: Sejarah
Pada tanggal 23 Mei l920, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya, berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI). PKI merupakan organisasi pertama di Asia di luar kekaisaran Rusia, menggunakan kualifikasi "Komunis." Partai Komunis Cina sendiri baru didirikan setahun kemudian, yakni pada bulan Juli l92l. Orang yang ditugaskan oleh Internationali Comuniste untuk membantu Partai baru tersebut adalah Henk Sneevliet, seorang organisator ISDV Belanda, yang pada tahun l9l8 diburu-buru oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena kegiatan-kegiatan revolusionernya.
Kata "perserikatan" dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda "Partij." Sedang nama PKI itu sendiri, menurut dokumen awal dari organisasi tersebut, merupakan kependekan dari bahasa Melayu "Perserikatan Komunis di India," yang bila di Belandakan menjadi "Partij der Kommunisten in Indie." Pada tahun l927, kata "perserikatan" digunakan oleh PNI, sebelum menetapkan namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Dalam konggres bulan Juni l924 di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat), Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, ini merupakan pertama kalinya di Hindia Belanda, sebuah organisasi memakai kata "Indonesia". Sebetulnya sejak tahun l922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging, yang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland, bukan di negeri jajahan.
PKI juga merupakan organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi "Partai" dalam nama resminya, dalam bahasa Melayu. Pergantian kata "perserikatan" menjadi "Partai," merupakan bagian dari konflik terbuka sejak tahun l922 di dalam tubuh Sarekat Islam, antara militan pro komunis dan yang menentangnya. Sarekat Islam, sejak awal tahun l9l0 dan di sepanjang awal tahun l920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh, suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial-politik di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis, dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa, melainkan juga di Sumatera dan kawasan lain. Anggota-anggota ISDV (kemudian PKI) seringkali merangkap anggota Sarekat Islam. Pada awalnya keanggotaan rangkap tersebut tidak menimbulkan masalah dan tidak bertentangan dalam hal agama; lagipula Sarekat Islam tidaklah menjadi lebih atau kurang sekuler pada saat telah menjadi gerakan massa, Tapi pembengkakan pengaruh ide-ide komunis di tengah gerakan dan munculnya persaingan guna merebut kepemimpinan, telah mendorong para pimpinan yang ada, yang khawatir akan kedudukannya, mencoba menunjukan adanya ketidak sesuaian antara Islam dengan Komunisme, Sambil menekankan ciri keislaman dari Sarekat Islam, dan menganggap hal yang mustahil anggota suatu organisasi Islam merangkap menjadi anggota organisasi Komunis. Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan SI dianggap sebagai sebuah Partai—dalam pengertian Belanda "Partij"—dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan. Dari sini nampak bahwa kata "partij" mengandung arti khusus yang tidak dipunyai oleh kata "sarekat", yang tidak cukup jelas dalam mencerminkan pengertian "perserikatan": Organisasi dengan kata Partai memiliki kelainan, yakni kekhususan bahwa seseorang tidak dapat menjadi anggota banyak partai pada saat yang sama, padahal ia boleh menjadi anggota banyak "sarekat" atau anggota suatu "sarekat" dan suatu "Partai." Jadi ketika PKI memilih kata "Partai," ini merupakan pernyataan adanya sifat eksklusif dari kelompok tersebut, dimana berlaku berbagai peraturan ketat organisasi serta disiplin tertentu. Sedangkan SI sendiri, baru pada tahun l927 menyepakati nama Partai Sarekat Islam; namun pada saat itu, organisasi tersebut sudah tidak lagi menampilkan gambaran sebagai sebuah organisasi yang kuat seperti sepuluh tahun sebelumnya.

soekarno & Fidel Castro


Oleh : Dr Haridadi Sudjono (Mantan Dubes RI untuk Kuba)
Castro mengatakan dengan tegas, dirinya adalah murid Bung Karno. Itu dikemukakannya sendiri kepada Bung Karno,ketika dua tokoh Gerakan Nonblok ini bertemu, dan kepada Adam Malik ketika almarhum menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI. Secara terbuka Castro menegaskan bahwa dirinya telah mengadopsi ajaran-ajaran Presiden RI pertama itu untuk dijadikan acuan guna memimpin negaranya. Ajaran yang mana?

Tentu, bukan Pancasila, nasakom, atau marhaenisme, melainkan trisakti dan resopim. Castro yang dikenal sebagai tukang ekspor revolusi ini ternyata juga telah mengimpor teori revolusi ajaran Bung Karno. Selama penulis menduduki pos sebagai Dubes RI (1999–2003) di negeri yang luasnya tak lebih dari Pulau Jawa ini, tampak bahwa pemerintahan di bawah Fidel Castro konsisten mempraktikkan dua ajaran tersebut yang tentu saja sudah diolah menjadi trisakti dan resopim ala Kuba.
Sebagaimana kita ketahui,ajaran trisakti Bung Karno ini mencakup, pertama, berdaulat dalam politik; kedua,berdiri di atas kaki sendiri (berdikari atau mandiri) di bidang ekonomi; ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Adapun resopim yang merupakan judul pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1961 adalah merupakan akronim dari “revolusi, sosialisme Indonesia, dan pimpinan nasional”.
Tentu saja dalam versi Kuba sosialisme Indonesia juga diolah menjadi sosialisme Kuba yang secara filosofis berbeda dengan Indonesia. Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila, sedangkan sosialisme Kuba berdasarkan teori Marxis. Namun, secara substansial keduanya mengusung cita-cita sama, yakni sosialisme yang antikapitalisme. Kuba tak mau didikte dan dijajah oleh Barat di bidang ekonomi,politik, dan budaya. Kuba menolak campur tangan IMF.
Bahkan Fidel Castro menyerukan agar IMF sebagai lembaga pendanaan kapitalis yang sifatnya menindas negara-negara sedang berkembang dibubarkan saja. Sikap kemandirian itu berbeda dengan Indonesia yang selama Orde Baru justru pembangunan ekonominya dibayang-bayangi IMF sehingga terpuruk dalam krisis moneter (krismon) yang berkepanjangan dan menimbulkan beban utang yang terus membengkak hingga hari ini.
Kuba membangun negara dan rakyatnya dengan mengandalkan kekuatan ekonominya sendiri. Bukan mengandalkan utang luar negeri. Inilah prinsip berdikari di bidang ekonomi yang diajarkan Bung Karno, tetapi dipraktikkan secara konsisten oleh Castro. Dengan berdikari dibidang ekonomi, Kuba dapat mempertahankan kedaulatan politiknya dan juga kebudayaan nasionalnya.
Dengan program pembangunan yang berbasis ajaran Bung Karno itu, Kuba kini merupakan negara kecil yang berpotensi besar. Di bidang kesehatan, Kuba mendapat pengakuan dari WHO sebagai salah satu negara dengan tingkat pemeliharaan kesehatan terbaik di dunia.Tingkat kematian bayi hanya 6,2 per 1.000 kelahiran dan usia harapan hidup mencapai rata-rata 76 tahun.Kuba telah mengekspor ribuan tenaga terdidik ke seluruh dunia setiap tahunnya, mencakup dokter, insinyur pertanian, pelatih olahraga, dan lain-lain yang menghasilkan devisa amat besar bagi negara.Hal itu terjadi karena mereka yang bekerja di negeri asing dipotong gajinya hingga 50% yang harus disetorkan kepada pemerintah.
Bandingkan dengan tenaga kerja Indonesia yang kebanyakan hanya tenaga kasar dengan gaji murah dan mereka masih diperas oleh yayasan pengirim tenaga kerja. Meskipun menganut sistem sosialis-komunis,Kuba terbuka bagi modal asing.Dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 77 Tahun 1995,banyak negara dan perusahaan skala internasional menanamkan modalnya di Kuba secara bebas,kecuali di bidang pendidikan, kesehatan, dan pertahanan yang terlarang bagi investasi asing.
Kebijakan ini berbeda dengan UU PMA Indonesia yang dikeluarkan di awal pemerintahan Orde Baru. UU tersebut tanpa barikade sehingga ekonomi nasional malah didominasi kekuatan asing.Kuba juga menjamin kebebasan beragama, berkumpul, dan berserikat yang tertuang dalam hasil Sidang Majelis Nasional Kuba pada 10 Juli 1992. Kuba bukan negara kaya, tetapi juga bukan negara miskin.
Pemerintah Kuba menerapkan ajaran Bung Karno dengan pola hidup sederhana, membangun dengan kekuatan ekonomi sendiri, dan selalu menerapkan prinsip “ukur baju badan sendiri”. Bagi Indonesia, kita perlu mengambil pelajaran dari sisi positif praktik sistem pemerintahan Castro yang mengaku “berguru” kepada Bung Karno itu tanpa harus menjadi Kuba karena sistem politik Indonesia memang jauh berbeda dengan yang dianut negeri di kawasan Karibia itu

Sukarno & Sukarnoisme

Sukarno & Sukarnoisme
Sukarno banyak dipuja-puji masyarakat Indonesia. Ia yang lahir pada 6 Juni 1901 dari ayah, seorang priyayi jawa bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo, sangat kental diwarnai sinkretisme ajaran Kejawen. Ayahnya menemukan jodoh di Bali, yakni Idayu Nyoman Rai, seorang wanita dari kasta Brahmana. Perkawinan itu tidak direstui oleh keluarga Idayu karena sang mempelai pria bukan dari keturunan Brahmana. Di Bali, Raden Sukemi yang mendapatkan sertifikat untuk mengajar sekolah pribumi, sempat menjadi asisten professor Van Der Tuuk, Sarjana Belanda ahli bahasa Indonesia, yang giat meneliti bahasa Bali. Kakak perempuan Sukarno, Soekarmini, lahir di Singaraja-Bali, sedangkan Sukarno sendiri lahir di Surabaya dengan nama Kusno Sosro Sukarno.
Sukarno kecil sangat menyukai pertunjukan wayang kulit dengan kisah-kisah dari Ramayana maupun Mahabarata. Ia sangat terpengaruh oleh kisah-kisa tersebut. Sehingga Sukarno sangat menyerap ajaran-ajaran Kejawen yang diutarakan lewat wayang. Ia mendapatkan semua itu dari kakeknya, Raden Hardjodikromo di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani. Melalui ayahnya pula, Sukarno diperkenalkan pada ajaran-ajaran teosofinya Annie Besant, Madame Blavatsky dan WQ Judge. Teosofi ini sangat abstrak dan tidak jelas mana agama yang benar, yang jelas didalam teosofi ini semua agama dianggap benar. Kelak, ketika Sukarno telah menjadi presiden, ajaran-ajaran tersebut sangat berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Pada 1914, Sukarno mulai masuk ke ELS (Europe Lagere School) dimana ia mempelajari beberapa bahasa asing. Salah seorang gurunya memberikan nama panggilan Karel buat Sukarno. Selanjutnya, di tahun 1916, Sukarno belajar HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Ia dititipkan pada HOS Cokroaminoto, seorang nasionalis muslim yang kharismatik. Dari Cokroaminoto, Sukarno mempelajari seni pidato dan retorika. Sekaligus ia meminta ijin untuk mengambil gambar Banteng dari keseluruhan lambang Sarekat Islam, untuk kelak dijadikan lambang gerakannya. Kehidupan bersama Cokroaminoto inilah yang kemudian memperkenalkan Sukarno pada aspek-aspek penting dari paham kebangsaan, fenomena politik dan taktik memobilisasi massa.
Di Surabaya, Sukarno mulai berkenalan dengan aktivitas Indies Communist Party yang merupakan kelanjutan dari ISDV (Indische Sociaal-Democrat Vereniging) yang didirikan tahun 1914 dan dipimpin oleh Hendrik Sneevliet. Sedangkan pemahaman Sukarno tentang Marxisme pertama kali diberikan oleh Alimin, yang bersama Semaun telah memporak-porandakan organisasi Sarekat Islam. Selain itu, Sukarno juga berkenalan dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) yang mendirikan Taman Siswa. Dari Suwardi, Sukarno mempelajari banyak kebudayaan Jawa pra-Islam. Tahun 1921, ia melanjutkan studinya di Technisch Hooge School (THS) Bandung dan pernah menghadiri kongres PKI tahun 1923 yang diselenggarakan dikota tersebut.

Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

Sesudah Kemerdekaan
Sukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam mencermati perkembangan demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan “negara” Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk kedalam wilayah Jawa Barat.
Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureu’eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya “ganyang Malaysia”.
Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris (SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari pemikiran-pemikiran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan sembari memberangus prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar ’45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang pada dekade ’60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat menguntungkan para politisi di sekitarnya.
* * *

(Dari rubrik Sejarah, Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 1998)

APAKAH SOSIALISME ANTI AGAMA?

APAKAH SOSIALISME ANTI AGAMA?
Tidak !!!.
Sosialisme tidak anti agama. Agama adalah urusan setiap pribadi dan setiap orang bebas untuk menentukan kepercayaannya, termasuk untuk tidak percaya pada suatu kepercayaan sekalipun. Sejak kecil kita sudah diajarkan di sekolah, bahwa ‘agama’ adalah hubungan paling personal antara seorang individu dengan Tuhannya, karena itu tidak ada orang yang dapat mengatur, menentukan, dan mengendalikan hubungan itu.

Yang tidak diinginkan adalah, keadaan di mana manusia menjadi diperbudak oleh agamanya. Manusia menjadi lupa tentang hidupnya sebagai manusia di bumi, lupa akan permasalahan sosial yang melanda kehidupannya dan kehidupan sesamanya, dan hanya ingat untuk mengejar surga. Akibatnya seseorang menjadi pasifis, seseorang tidak peduli pada keadaan sosialnya, masyarakat menjadi semakin mudah dieksploitasi oleh orang-orang yang berkuasa secara politik dan ekonomi.
Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, Marx juga mengatakan agama adalah keluhan para mahluk tertindas. Di sinilah hal ini berlaku. Agama menjadi semacam penghiburan bagi masyarakat yang tertindas oleh sistem, menjadi pelarian dan pelampiasan segala beban kehidupan yang dihasilkan dari penindasan secara ekonomi dan politik. Tetapi candu ini menjadi berbahaya ketika manusia semakin larut berputar-putar di dalamnya, manusia melupakan permasalahan sebenarnya bahwa masyarakat tertindas oleh sistem, dan cenderung terus menerus berkutat di permasalahan surga-neraka.
Dalam beberapa kasus, masyarakat bukan hanya larut dalam urusan surga-neraka, melainkan menjadi fanatik terhadap agamanya. Muncul kebencian terhadap kepercayaan lain, bahkan mewujudkan kebencian itu dalam tindakan nyata. Hal ini semakin menguntungkan pihak penguasa politik dan ekonomi. Fanatisme bahkan dapat digunakan dengan sengaja oleh penguasa untuk menciptakan konflik antar kepercayaan. Masyarakat tertindas semakin larut dalam urusan agama dan tidak lagi peduli pada kehidupan nyata dan permasalahan-permasalahan sosialnya, dan kemudian mereka menjadi terpecah belah berdasarkan agama. Semakin jauh dari usaha untuk memperbaiki kehidupan sosial, apalagi usaha untuk merombak sistem penindas.
Karena itu masyarakat harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Setiap orang bebas beragama, tetapi setiap orang juga harus memperjuangkan kehidupan nyatanya yang benar-benar ada di depan mata saat ini: Memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, membongkar sistem penindasan yang sekarang berkuasa.
Apakah Sosialisme Mempunyai Moralitas?
Tentu saja.
Agama adalah sumber standar moralitas yang utama, alat penentu kebaikan dan kebenaran pada masyarakat kita. Baik, benar, atau salah ditentukan dengan membandingkannya dengan apa yang dikatakan oleh agama, apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh agama, apa yang tertulis dalam buku-buku agama.

Tetapi moralitas agama tidak akan mungkin berlaku benar-benar universal pada kehidupan manusia karena ada berbagai macam agama dan tiap agama memiliki standar-standar moralitasnya masing-masing, yang walaupun masih ada titik temunya tetap akan terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin dan tidak adil untuk menilai benar atau salah perbuatan seorang beragama A dengan standar moralitas agama B.
Lebih lagi, di masa sekarang, seringkali agama telah digunakan oleh pihak yang berkuasa sebagai tameng, sebagai alat pengekang, dan sebagai alat pemecah-belah untuk melemahkan perjuangan sosial kelas tertindas, membuat mereka terbuai mimpi indah surgawi setelah mati nanti. Orang yang melawan dan memberontak terhadap penguasa dikatakan tidak bermoral dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan manusia harus selalu bisa menerima keadaan, menerima takdir, dan menganggap kesulitan hidup sebagai cobaan dari Tuhan.
Moral dan tolak ukur kebaikan dan kebenaran telah ditentukan oleh penguasa. Apa-apa yang dapat membahayakan penguasa adalah tidak bermoral, jahat, dan salah; sementara apa yang mendukung dan memperkuat posisi penguasa adalah bermoral, baik, dan benar. Standar moral yang ‘gila’ seperti ini tidak dapat terus menerus digunakan jika manusia memang ingin melepaskan diri dari lingkaran setan penindasan dan eksploitasi.
Karena itu sosialisme-komunisme meletakkan standar moralnya bukan kepada agama, tetapi kepada kemanusiaan itu sendiri.
Adalah tidak bermoral untuk merampas hasil pekerjaan orang lain. Adalah tidak bermoral untuk mengeksploitasi nafsu konsumerisme orang lain, menindas pemikiran dan perjuangan, menggusur tempat hidup dan tempat mencari nafkah, membunuh orang lain. Adalah tidak bermoral untuk mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, dan agama. Adalah tidak bermoral untuk mempekerjakan buruh di bawah umur. Adalah tidak bermoral untuk menekan upah buruh seminim mungkin dan memecat mereka demi mencapai profit tertinggi. Adalah tidak bermoral untuk menempatkan PROFIT di atas KEMANUSIAAN. Dan lain-lain.
Itu adalah contoh-contoh moralitas dalam sosialisme. Kita mempunyai moral, yang tampaknya jauh lebih bermoral (bahkan bertolak belakang) dari standar moral para kapitalis.
Kaum kapitalis adalah pengguna standar ganda. Mereka menggunakan standar moral yang tinggi sekali – bahkan menggunakan standar moral agama – ketika menilai perbuatan manusia pada umumnya. Karena itu perbuatan menentang penguasa, ide untuk merombak dan memberontak dari keadaan hidup yang sulit dan melarat mereka anggap sebagai salah, tidak baik, dan tidak bermoral.
Tetapi sementara itu mereka akan menggunakan standar moral lain lagi ketika segala perbuatan-perbuatan tidak bermoral mereka mulai disinggung (penghisapan, penindasan, eksploitasi, dan berbagai macam hal yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap kelas pekerja dan masyarakat melarat). Dalam membela tindakan tidak bermoral yang dilakukannya, kapitalis menggunakan dalih-dalih semacam “merampok atau dirampok”, “makan atau dimakan”, “hukum alam”, “yang kuat yang menang”, “hidup itu keras”, dan berbagai macam dalih dan alasan lainnya.
Tetapi kita – kaum sosialis – menjawab: “Bukankah akan lebih baik kalau manusia dapat hidup bersama-sama dalam kesetaraan? Mengolah alam ini bukan untuk profit segelintir orang, melainkan untuk pemenuhan keperluan dan kebutuhan bersama-sama? Mengambil dari tiap orang sesuai kemampuannya dan memberikan kepada setiap orang sesuai keperluannya?” Bukankah lebih baik kalau tidak perlu ada yang merampok dan dirampok? Bukankah lebih baik kalau dunia ini diabdikan bukan untuk profit, melainkan untuk kemanusiaan??

AKSI KEKERASAN MASSA : Cerminan Kegagalan Otoritas Negara

AKSI KEKERASAN MASSA : Cerminan Kegagalan Otoritas Negara

Herman Guritno*
Merdeka Indonesia!
Saudara-saudara sebangsa setanah air,
Zaman yang kita lalui ini adalah zamannya berganti bulu, zamannya perubahan atau transisi. Telah 63 tahun lamanya Negara kita berdiri dengan megahnya, terangnya Negara kita di angkasa bagaikan terangnya sebutir mutiara di lautan luas yang berkilauan dengan indahnya. Banyak sudah peristiwa-peristiwa yang kita lampaui bersama selama 63 tahun itu, baik pahit maupun manis semuanya sudah kita terjuni dan Alhamdulillah saya bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Negara kita masih tegap berdiri dengan kokohnya serasa tak ada sedkit pun rasa gentar di raut wajahnya Bangunan Indonesia itu. Tentu serasa mimpi kita dan terheran-heran dibuatnya, apa gerangan Bangunan Indonesia itu masih tegap berkibar sampai saat ini?
Persatuan nasional, ya, persatuan itulah yang membuat kita tak akan gentar meskipun terjangan ombak dan angin rintangan terus menghujani bangunan yang kita cintai itu. Hal itu berangkat dari kesadaran yang tinggi, bahwa kita adalah satu bangsa, kita sadar pada apa yang pernah dikatakan oleh seorang pujangga yaitu Ernest Renan yakni, Bangsa itu adalah satu jiwa. Menurutnya pula bahwa satu bangsa dapat tercipta karena adanya keinsyafan tentang persamaan nasib atas satu riwayat tertentu dan adanya kebulatan kemauan yang sama untuk bersatu. Segala keberagaman dari agama, adat, suku, bahasa dan sebagainya dapat digandengkan dengan rapatnya satu sama lain yang masing-masing berpijak di atasnya pada suatu permadani indah yakni Pancasila. Tahukah saudara apa yang menjadi musuh dari Persatuan Nasional itu? Perpecahan jawabnya, maka jauhkan dan bencilah ia sejauh-jauhnya, karena Perpecahan Bangsa atau desintegrasi itu pun benar-benar mengotori, mengoyak dan meracuni Pancasila. Tapi lihatlah Bangsa Indonesia yang kita cintai itu! Berbagai kasus desintegrasi bangsa muncul, antar sesama rakyat Indonesia berselisih dan sekarang marak kondisi bangsa kita dengan aksi kekerasan massa.
Tidaklah pantas sesama orang Indonesia terpecah belah satu sama lain. Sangatlah prihatin kita tentunya satu sama lain saling memusuhi dan menyakiti. Bukankah kita sangat mencintai perikemanusiaan sama halnya dengan Mahatma Gandhi yang mengatakan bahwa nasionalismeku adalah Perikemanusiaan. Meskipun ia seorang nasionalis, yang salah satu bagian dari suatu asas yang ada di dunia, tetapi ia tetap mengedepankan perikemanusiaan itu.
Di samudranya Indonesia saat ini sedang dipenuhi mendung tebal dari maraknya tindak kekerasan massa atau yang biasa diterjemahkan oleh media sebagai tindakan anarkis. Tindakan kekerasan itu sangat berhubungan sekali dengan Persatuan Nasional itu, jikalau itu tidak segera ditanggulangi, maka tentulah ia semakin melicinkan jalannya ke arah perpecahan bangsa. Seolah-olah tindakan kekerasan massa itu menjadi suatu hal yang menjadi kebudayaan masyarakat kita. Contoh kasus yang beredar misalnya adalah kasus pembakaran mapolsek parsiapan, Labuapi, Lobar, NTB karena perilaku polisi yang menembak mati seorang pencuri motor. Kasus kekerasan golongan tertentu yang mengatasnamakan agama tertentu yang merusak fasilitas tertentu milik orang lain dan terhadap orang yang berbeda keyakinan. Sampai pada kasus penyerbuan aparat keamanan terhadap mahasiswa di Kendari karena menolak penggusuran PKL di daerah kampus dan masih banyak contoh kekerasan lainnya di negeri ini.
Sebelum masuk ke pembahasan tindak kekerasan itu, marilah kita terlebih dahulu mengupas mengapa kasus kekerasan atau pengrusakan selama ini diterjemahkan sebagai tindakan anarkisme. Padahal antara tindakan kekerasan tidak sama pengertiannya dengan anarkisme itu. Saya kira ini bisa dikatakan sebagai penyalahtafsiran arti anarkisme itu yang berarti bertolakbelakang dengan fungsi media sesungguhnya dalam mencerdaskan bangsa. Makna yang sesungguhnya dari anarkisme adalah suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk Negara pemerintahan dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang dianggap menyuburkan penindasan terhadap kehidupan. Sehingga menurut paham anarkisme itu Negara, pemerintahan dan perangkatnya harus dihilangkan atau dihancurkan. Anarkis adalah orang yang menganut anarkisme itu. Tokoh-tokoh penganut anarkisme itu antara lain Pierre-Joseph Prodhoun (1809-1865), Michael Bakunin(1814-1876) dan Peter Kropotkin(1842-1921).
Penyalahtafsiran kekerasan massa dengan menggunakan kata anarkis massa saya kira berangkat dari sejarah pengikut anarkisme yang sebagian menggunakan jalur perjuangannya dengan jalan kekerasan. Hal itu dapat dilihat dari slogannya kaum anarkis spanyol pengikutnya Durruti, yakni : “Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan”. Lebih tepatlah kiranya Anarkisme itu diartikan sebagai paham kebebasan dibandingkan dengan tindak kekerasan dan pengrusakan.
Kembali ke sorotan utama dari tulisan ini, tindak kekerasan dan pengrusakan massa sebenarnya lahir dari tidak adilnya pemerintah melalui aparat hukumnya. Mereka cenderung tebang pilih dalam menegakkan keadilan.  Begitupun aparat birokrasinya yang cenderung korupsi dan tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Banyak pejabat-pejabat negeri ini yang menggunakan lembaga keadilan sebagai panggung politik, mereka beranggapan hanya dengan segenggam uang dan selembar cek tunai, hukum dapat diperjualbelikan. Seperti contoh kasus di atas, maling motor dengan teganya ditembak mati, sedangkan pihak birokrat yang mencuri uang Negara bermilyar jumlahnya terkadang hanya di penjara beberapa tahun, bahkan ada yang tidak diusut. Di mana keadilan? Mestinya pencuri motor itu harus mendapat hukuman yang semestinya, tak pelak lagi massa pun marah dan membakar Mapolsek di NTB. Saya kira siapapun manusia yang dicongkel matanya, maka akan melawan. Bisa kita lihat pula di kehidupan sehari-hari, sebagian aparat penegak hukum tampaknya lebih senang menangkap pelanggar lalu lintas dibandingkan menangkap para penjahat.. Yang perlu kita tekankan saat ini adalah, berlakukanlah hukum itu dengan semestinya sesuai dengan landasan hukum yang ada. Belum lagi sikap pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, pemerintah lebih condong memberi makan pihak-pihak kapitalis dibandingkan dengan rakyat yang dipimpinnya sendiri. Kebijakan pemerintah banyak yang menguntungkan kaum kapitalis dan mengabaikan penderitaan rakyat. Seperti yang terjadi di Kendari, penolakan kaum mahasiswa terhadap penggusuran PKL, dibalas dengan penyerbuan polisi, dan mahasiswa pun melawan, maka terjadilan pengrusakan-pengrusakan.. Apakah para penegak hukum itu tidak tahu bahwa fungsi Kampus adalah sebagai pengontrol terhadap apa-apa yang dianggap secara moral salah. Lembaga-lembaga Negara lainnya pun sama keblingernya, sebagian diantara mereka seolah-olah hanya mengejar kekayaan. Belum apa-apa sudah minta dana ini, dana itu alih-alih untuk meningkatkan kinerja mereka. Sidang-sidang lembaga tersebut seolah hanya dijadikan sebagai ajang lomba debat yang mengejar penonjolan diri, tujuannya tentu ke arah eksistensi dan ego, bukan karena keresahan nurani terhadap nasib bangsa.
Ketidakadilan dan ketidakseriusannya Pemerintah beserta perangkat dan lembaga Negara lainnya yang menjadi pemicu merebaknya tindak kekerasan massa di samudranya Indonesia itu. Rakyat dan mahasiswa sudah merasa frustasi  melihat perilaku orang-orang di Pemerintahan dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang tidak bermoral dan tidak peka. Kebanyakan aksi kekerasan massa itu timbul karena acuhnya Pemerintah itu terhadap koreksi yang dilakukan Mahasiswa dan rakyat.
Dapatlah kita tarik dari kesemuanya itu bahwa tindakan kekerasan massa yang selama ini meroket merupakan gambarannya kegagalan para otoritas negara saat ini dalam mengurusi negara kita tercinta. Mulailah saatnya kita melanjutkan Revolusi menuju Sosialisme Indonesia menggantikan sistem Kapitalisme yang masih subur di Negara kita.. Sampai kapanpun jikalau praktek kapitalisme masih berdiri di Indonesia, maka kesejahteraan masyarakat timpang. Karena kapitalisme itu pula aparat penegak hukum mau menerima imbalan untuk bersikap tidak adil. Dorong terus pemerintah untuk berpihak pada rakyat dan konsistensi melanjutkan cita-cita Sosialisme Indonesia itu. Mari bersatu semua Mahasiswa Indonesia bersama rakyat maju ke tengah medan menuntut pemerintah memperbaiki itu semua dan adakan penyadaran massa tentang sosialisme indonesia. Tonjolkanlah radikalisme massa, bukan Kekerasan dan pengrusakan. Kekerasan yang dilakukan yang berdasarkan perbedaan golongan misalnya atas nama agama, tidak bisa dibenarkan, karena Negara kita adalah menjunjung tinggi keberagaman dan perikemanusiaan. Mari dorong Pemerintah memberikan pencerahan atau teladan yang baik bagi masyarakat banyak. Kobarkan Pancasila, padamkan usaha-usaha yang dapat memecah belah bangsa. Ada kalanya tindak kekerasan itu disusupi kepentingan tertentu untuk memecah belah bangsa, maka hadanglah ia dengan semangat yang menggemparkan.
Sekian saudara-saudara